Seandainya Buruh Pendukung Prabowo Bertukar Peran Jadi Pendukung Jokowi

Bukan tanpa alasan para buruh tersebut melakukan Long March. Hal ini didasari karena buruh ingin mewujudkan cita - cita buruh dan rakyat Indonesia yang dituangkan dalam Sepuluh Tuntutan Buruh dan Rakyat (Sepultura).

Jakarta, KPonline – Dalam demokrasi, pilihan adalah sebuah keniscayaan. Termasuk memilih untuk tidak memilih.

Itulah sebabnya, dukung mendukung atau mendukung untuk tidak mendukung dalam Pilpres atau Pilkada menjadi sesuatu yang tak bisa dihindari. Termasuk bagi organisasi serikat pekerja, yang mentah-mentah menolak dikatakan sebagai underbow partai politik tertentu.

Sudah menjadi rahasia umum, dalam Pilpres 2014 kemarin suara buruh terbelah. Ada yang solid mendukung Jokowi, ada yang setengah mati memperjuangkan Prabowo menang.

Di sini, saya akan lebih menekankan pada buruh pendukung Prabowo dalam Pilpres yang lalu. Siapa mereka? Sila ditanyakan ke google saja…

Bisa dipahami jika buruh pendukung Prabowo bersikap kritis terhadap kebijakan Jokowi. Lepas dari kecewa karena kekalahan yang diderita, tetapi hal itulah peran yang memang harus dimainkan.

Ini bukan sikap oposisi. Karena serikat buruh bukan partai politik. Sikap itu merupakan sikap dasar serikat, sebagai organisasi yang melindungi, membela, dan memperjuangkan hak dan kepentingan kaum buruh.

Publik bisa melihat. Serikat buruh pendukung Prabowo ini dikenal militan. Aksi-aksi besar dilakukan hampir setiap saat. Kritik keras pun tak segan dilakukan.

Pertanyaanya, apakah aksi-aksi seperti ini akan dilakukan jika seandainya Prabowo menang?

Untuk menjawab ini, mari kita lihat apa yang terjadi di DKI Jakarta yang dalam peta politik disebut-sebut sebagai miniatur Indonesia.

Buruh pendukung Prabowo berada dalam satu barisan mendukung Anies – Sandi. Sedangkan buruh pendukung Jokowi, mendukung Ahok – Djarot. Kali ini mereka bertukan peran. Anies – Sandi menang. Buruh pendukung Prabowo bersorak girang.

Lalu tiba-tiba, karena alasan kontrak politik tak dijalankan, mereka menyatakan akan melakukan aksi besar-besaran dan menarik mandat. Menggelar parlemen jalanan, seperti yang sudah-sudah mereka lakukan.

Saya membayangkan jika hal ini dilakukan oleh buruh pendukung Jokowi, yang karena merasa Tri Layak atau Nawa Cita tak dijalankan, mereka kemudian melakukan berbagai pergerakan.

Apa jadinya jika posisi ini tertukar? Bisa jadi, para buruh akan melalukan aksi menagih janji. Seperti yang saat ini dilakukan terhadap Anies – Sandi.

Sehingga ada elemen masyarakat yang kritis mengawal Tri Layak dan Nawa Cita diwujudkan.

Ini baik untuk demokrasi. Kontrol sosial berjalan efektif.