Sabda Pranawa Djati, Ketua Serikat Pekerja yang Pernah Lengserkan Direksi BUMN

Jakarta, KPonline – Sosok yang satu ini memang jarang menonjolkan diri sendiri. Seandainya saja redaksi tidak menemukan satu bundel dokumen lama tahun 2006 milik Serikat Pekerja Balai Pustaka, mungkin tidak banyak yang akan tahu sepak terjang Sabda Pranawa Djati di pergerakan serikat pekerja Indonesia.

Sabda mengawali kiprahnya di dunia serikat pekerja pada 9 Juni 1999, ketika menjabat sebagai Kepala Seksi Hukum. Saat itu, dia ditugaskan oleh Direksi PT Balai Pustaka (Persero) untuk hadir sebagai peserta pendiri dalam Musyawarah Besar Pendirian Federasi Serikat Pekerja BUMN, yang diselenggarakan di Jakarta.

Bacaan Lainnya

Saat itu adalah awal masa reformasi, ketika hak kebebasan berserikat kemudian diakui oleh Negara. Sebelumnya pada masa orde baru, Pemerintah hanya mengakui satu organisasi pekerja yaitu Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), yang seluruh aktivitasnya dikendalikan oleh Pemerintah.

Setelah menghadiri Musyawarah Besar Pendirian Federasi Serikat Pekerja BUMN, Sabda bersama 4 orang pejabat PT Balai Pustaka (Persero) kemudian ditunjuk oleh Direksi PT Balai Pustaka (Persero) sebagai Tim Fasilitator Pendirian Serikat Pekerja PT Balai Pustaka (Persero), dimana Sabda dipercaya sebagai Sekretaris I.

“Reformasi 98 memang membawa perubahan yang sangat besar, termasuk di lingkungan BUMN,” ungkap Sabda.

“Saat itu sebetulnya di lingkungan BUMN masih ada yang namanya Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI). Namun karena amanat reformasi, maka Menteri Negara Pendayagunaan BUMN/Kepala Badan Pembina BUMN kemudian mengeluarkan surat instruksi kepada seluruh Direktur Utama BUMN, Nomor: S-19/MSA-S/P-BUMN/1999 tanggal 15 Maret 1999, untuk memfasilitasi pendirian serikat pekerja di masing-masing BUMN.”

Indonesia saat itu memiliki Undang Undang Nomor 18 tahun 1956 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No.98 tahun 1949 tentang Hak Berorganisasi dan Perundingan Bersama.

Sabda kemudian menceritakan saat Tim Fasilitator Pendirian Serikat Pekerja Balai Pustaka dibentuk, bukan tanpa tantangan karena terdapat sekitar 7 orang pekerja yang menolak dengan alasan kecurigaan bahwa pendirian Serikat Pekerja Balai Pustaka tidak murni dari bawah karena dibentuk oleh manajemen.

Sabda bersama Tim kemudian mampu meyakinkan seluruh pekerja bahwa Tim hanya akan bertindak sebagai fasilitator hingga terselenggaranya Musyawarah Besar Pendirian Serikat Pekerja Balai Pustaka. Terrbukti kemudian dengan terpilihnya Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja Balai Pustaka yang bukan dari salah satu pun Tim Fasilitator tersebut.

Sabda menyampaikan, “Saat itu tidak ada skenario ataupun rekayasa dalam pembentukan Serikat Pekerja Balai Pustaka, karena Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal benar-benar dipilih langsung oleh hampir 400 orang pekerja yang hadir dalam Musyawarah Besar. Kami yang menjadi Tim Fasilitator berkomitmen untuk tidak bersedia dipilih sebagai Ketua Umum maupun Sekretaris Jenderal. Direksi bahkan menghentikan aktivitas perusahaan guna memberikan kesempatan kepada seluruh pekerja untuk dapat hadir dan tidak ada sistem perwakilan”.

Setelah melalui dua periode kepengurusan, baru dalam Musyawarah Besar Serikat Pekerja Balai Pustaka yang ke-3, pada 15 Desember 2005, Sabda Pranawa Djati terpilih dan diamanahkan sebagai Ketua Umum Serikat Pekerja Balai Pustaka.

Sabda terpilih di saat kondisi perusahaan sangat terpuruk akibat mismanajemen yang dilakukan oleh Direksi dan lemahnya pengawasan dari Dewan Komisaris.

Sabda mengungkapkan, “Saat itu banyak hak-hak pekerja yang dilanggar oleh Direksi, antara lain pembayaran gaji yang beberapa kali tertunda, iuran Jamsostek dan iuran asuransi Jiwasraya pekerja yang tidak dibayarkan, pinjaman kredit pekerja yang tidak dibayarkan ke beberapa bank padahal gaji pekerja sudah dipotong, uang makan, uang lembur dan biaya penggantian pengobatan yang tidak dibayarkan, serta jasa produksi tahun 2004 yang juga tidak dibayarkan.”

Saat itu, lanjutnya, ada indikasi kuat korupsi yang dilakukan oleh Direksi. Ada dua kasus besar, yaitu pinjaman 50 milyar dari Bank Mandiri yang penggunaannya tidak sesuai dengan peruntukkannya, serta kasus tindak pidana korupsi pengadaan buku di Kabupaten Sukoharjo tahun anggaran 2003 dan 2004, dimana Pelaksana Tugas Direktur Utama yang juga merangkap Direktur Keuangan Administrasi ditetapkan sebagai tersangka.”

Setelah melalui berbagai upaya dan perundingan dengan Direksi, selanjutnya Serikat Pekerja Balai Pustaka pada 2 Maret 2006 membuat Mosi Tidak Percaya atas kinerja Direksi dan Komisaris PT Balai Pustaka (Persero), yang ditandatangani oleh hampir 90% pekerja PT Balai Pustaka.

Sabda kemudian memimpin aksi unjuk rasa di kantor Kementerian BUMN. Tidak tanggung-tanggung tuntutan Serikat Pekerja Balai Pustaka, yaitu mendesak Menteri BUMN segera mengganti seluruh Direksi dan Komisaris PT Balai Pustaka, penyelesaian pembayaran hak-hak pekerja, serta menuntut audit investigasi terhadap laporan keuangan dan kinerja perusahaan.

Sabda juga memimpin langsung saat audiensi dengan Kementerian Negara Pendayagunaan BUMN, Kementerian Pendidikan Nasional dan Komisi VI DPR RI, guna menyampaikan Mosi Tidak Percaya.

Aksi unjuk rasa di kantor Menteri BUMN yang pertama dilakukan pada 5 Juli 2006, kemudian disusul aksi kedua pada 2 Agustus 2006.

Dalam aksi 2 Agustus 2006, pejabat Kementerian BUMN dan Serikat Pekerja Balai Pustaka yang diwakili Sabda, menandatangani Risalah yang intinya Kementeriaan BUMN akan mengganti Direksi selambat-lambatnya satu bulan sejak ditandatanganinya Risalah.

Pada tanggal 29 Agustus 2006 tuntutan Serikat Pekerja Balai Pustaka dipenuhi oleh Kementeriaan BUMN dengan digantinya seluruh Direksi dan Komisaris PT Balai Pustaka.

Kepada redaksi Sabda menyampaikan bahwa keberhasilan Serikat Pekerja Balai Pustaka melengserkan Direksi dan Komisaris saat itu adalah murni karena kerja tim yang didukung oleh seluruh pengurus dan anggota Serikat Pekerja Balai Pustaka, didukung juga oleh Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Union Network International (UNI).

“Sejak tahun 2012 saya sudah tidak lagi bekerja di PT Balai Pustaka karena pada tahun 2012 saya diamanahkan menjadi Sekretaris Jenderal ASPEK Indonesia, dimana sebagai Sekretaris Jenderal saya harus fulltime bekerja untuk ASPEK Indonesia. Saya juga berbahagia karena saat ini kondisi PT Balai Pustaka (Persero) sudah sangat berubah menjadi lebih baik” pungkas Sabda. (Media Network ASPEK Indonesia)

Pos terkait