Surabaya, KPonline – PT. Tunjungan Crystal Hotel menjadi sorotan tajam setelah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak terhadap 47 Pekerja/Buruh pada tanggal 31 Januari 2025. Yang paling mengejutkan, salah satu korban PHK adalah Wulandari, seorang Pekerja/ Buruh perempuan yang tengah hamil dengan usia kandungan sembilan bulan. Tindakan ini memicu gelombang protes dari kalangan buruh dan aktivis yang mengecam pelanggaran hak maternitas.
Dalam konferensi pers di Aula YLBHI-LBH Surabaya, yang dilaksanakan hari ini 7 Februari 2025 yang dihadiri oleh Wulandari, Elsa Ardhilia dari LBH Surabaya, Anindya Shabrina dari Partai Buruh Surabaya, Pengurus Pimpinan Cabang SPAI FSPMI Surabaya, serta sejumlah relawan dan media.
PHK Sepihak Tanpa Dasar Jelas
Manajemen PT. Tunjungan Crystal Hotel berdalih mengalami kerugian bertahun-tahun, tetapi tidak pernah menyajikan laporan keuangan yang dapat membuktikannya. Lebih ironis, setelah PHK dilakukan, perusahaan malah membuka lowongan pekerjaan baru dan telah merekrut beberapa karyawan.
“PHK terhadap ibu hamil adalah pelanggaran serius. Undang-Undang Ketenagakerjaan secara tegas melarang perusahaan melakukan PHK kepada buruh perempuan yang sedang mengandung,” ujar Elsa Ardhilia dari LBH Surabaya
Pelanggaran Hak Maternitas yang Sistematis.
Wulandari, yang telah bekerja selama 11 tahun di hotel tersebut, mengungkapkan bahwa ia hanya mendapat cuti dua bulan saat melahirkan anak pertamanya. Beberapa buruh perempuan bahkan dipaksa kembali bekerja saat masih dalam masa nifas.
“Selama bertahun-tahun, hak cuti menstruasi hampir tidak pernah diberikan. Ini pelanggaran yang tidak boleh dibiarkan,” lanjut Wulandari.
#Tuntutan Buruh
Para buruh yang tergabung dalam PUK SPAI FSPMI menyampaikan tuntutan mereka:
1. Mempekerjakan kembali 41 anggota SPAI FSPMI (dari 47 total Pekerja) yang di-PHK sepihak.
2. Memenuhi kewajiban Perusahaan terkait hak cuti melahirkan dan perlindungan hak maternitas sesuai undang-undang.
Anindya Shabrina dari Partai Buruh menegaskan bahwa kasus ini menjadi momentum perlawanan buruh terhadap ketidakadilan. “Kami akan mengawal kasus ini hingga tuntas. Pelanggaran hak buruh perempuan harus dihentikan,” tegasnya.
Sanksi Pidana Mengancam Perusahaan
Elsa Ardhilia menjelaskan bahwa PHK terhadap buruh perempuan yang hamil melanggar Pasal 153 ayat (1) huruf e UU Ketenagakerjaan, yang secara tegas melarang PHK dengan alasan kehamilan. Perusahaan yang melanggar dapat dikenai sanksi pidana berdasarkan Pasal 185 UU Ketenagakerjaan dengan ancaman penjara maksimal satu tahun atau denda hingga Rp100 juta.
Tidak hanya itu, Elsa juga menyoroti sanksi pidana yang dapat dikenakan berdasarkan Pasal 190 UU Ketenagakerjaan dan Pasal 90 UU Ketenagakerjaan. “Perusahaan yang terbukti melanggar hak maternitas juga dapat dikenai sanksi pidana, selain itu perusahaan pun akan terkena teguran tertulis, pembekuan kegiatan usaha, hingga pencabutan izin usaha,” jelas Elsa.
Menurut Elsa, hal ini harus menjadi peringatan bagi perusahaan lain agar tidak mengabaikan perlindungan terhadap buruh perempuan. “Kewajiban melindungi hak maternitas adalah hukum yang tidak boleh ditawar. Jika perusahaan mengabaikannya, maka pemerintah berhak mengambil tindakan tegas,” tegasnya.
Seruan Solidaritas
Konferensi pers ditutup dengan seruan solidaritas dari seluruh pihak untuk mendukung perjuangan buruh perempuan yang menjadi korban ketidakadilan.
Hidup Buruh, Hidup Perempuan yang Melawan!
(A.R.P)