Perjalanan KSPI Menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja

Purwakarta, KPonline – Untuk menciptakan iklim investasi lebih baik, Pemerintah memboyong draft Omnibus Law Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI).

Namun, hal tersebut ternyata malah menimbulkan polemik di tengah masyarakat, terutama dikalangan kelas pekerja atau kelas buruh. Sebab, menurut mereka, ada indikasi substansi yang dikandung dalam RUU tersebut yaitu pada klaster ketenagakerjaan dengan menempatkan pengusaha pada hirarki proteksi tertinggi dan menempatkan pekerja pada lapisan terbawah.

Bacaan Lainnya

Oleh sebab itu, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja dengan memberikan sembilan alasan seperti:

1. Hilangnya upah minimum.
2. Hilangnya pesangon.
3. Penggunaan Outsourcing yang bebas.
4. Jam kerja eksploitatif.
5. Penggunaan karyawan kontrak yang tidak terbatas.
6. Penggunaan tenaga kerja asing (TKA) Unskilled Workers.
7. PHK yang dipermudah.
8. Hilangnya Jaminan Sosial bagi pekerja atau buruh. Khususnya, kesehatan dan pensiun.
9. Sanksi pidana bagi pengusaha yang melanggar hukum dihilangkan.

Kemudian, KSPI pun menambahkan lebih lanjut dan beranggapan ada lima kebijakan pengupahan di Omnibus Law RUU Cipta Kerja dalam klaster ketenagakerjaan yang bisa merugikan buruh atau pekerja. Diantaranya:

1. Hilangnya Upah Minimum Kabupaten/ Kota (UMK).
2. Hilangnya Upah Minimum Sektoral.
3. Munculnya nilai upah padat karya yang nilainya lebih kecil.
4. Muncul upah berdasarkan satuan waktu atau upah per jam.
5. Kenaikan upah minimum tidak lagi melihat Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

Sehingga, merasa tidak dilibatkan dalam merumuskan Omnibus Law tersebut, melalui Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) yang terdiri dari KSPI, KSPSI AGN dan KSBSI menegaskan akan melakukan aksi unjuk rasa besar jika pemerintah tetap memaksakan untuk melegalisasi Omnibus Law RUU Cipta Kerja lewat DPR RI.

Selanjutnya, pemerintah pun akhirnya menunda pembahasan RUU itu, setelah MPBI menjelaskan apa langkah yang akan diambil dalam menolak RUU tersebut.

Setelah sempat tertunda, dengan segala daya upaya, pemerintah mencoba lagi agar Omnibus Law RUU Cipta Kerja bisa kembali dibahas untuk segera disahkan dengan membentuk tim teknis
Setelah diundang masuk kedalam tim tersebut, sikap tegas KSPI kembali diperlihatkan dengan keluarnya mereka dari tim teknis Omnibus Law bersama KSPSI AGN dan FSP Kahutindo.

Alasan mereka keluar dari tim teknis Omnibus Law RUU Cipta Kerja karena beranggapan:

Pertama, tim tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan dan kesepakatan apapun. Tetapi hanya mendengarkan masukan dari masing-masing unsur.

Kedua, unsur Apindo/Kadin dengan arogan mengembalikan konsep RUU usulan dari unsur serikat pekerja dan tidak mau menyerahkan usulan konsep apindo/kadin secara tertulis.

“Jika hanya sekedar mendengarkan masukan dan ngobrol-ngobrol saja, secara resmi kami sudah menyampaikan masukan berupa konsep RUU secara tertulis kepada pemerintah dan Apindo/Kadin, tetapi kemudian secara arogan konsep serikat pekerja tersebut dikembalikan oleh unsur Apindo/Kadin. Barangkali mereka merasa di atas angin, karena merasa didukung oleh unsur pemerintah,” kata Said Iqbal.

Dengan demikian kami berpendapat, hal ini menyalahi prinsip tripartit dan norma-norma dalam dialog sosial yang mengedepankan kesetaraan, kebebasan berpendapat dan saling percaya untuk mengambil keputusan besama secara musyawarah dan mufakat, sebagaimana juga termaktub dalam konvensi ILO no 144 tentang Tripartit yang sudah diratfikasi pemerintah Indonesia,” lanjutnya.

Ketiga, ada batas waktu. Ada kesan, tim bekerja sampai 18 Juli. Setelah itu, selesai. Jadi kami menduga ini hanya formalitas dan jebakan saja dari pemerintah yang diwakili Kemenaker dalam memimpin rapat tim. Agar mereka mempunyai alasan bahwa pemerintah sudah mengundang serikat pekerja atau serikat buruh untuk didengarkan pendapatnya.

Dengan kata lain pemerintah yang diwakili Kemenaker hanya sekedar ingin memenuhi unsur prosedur saja bahwa mereka telah mengundang pekerja masuk dalam tim dan tidak menyelesaikan Substansi materi RUU Omnibus Law yang ditolak buruh tersebut.

Keempat, tidak menyelesaikan Substansi. Dimana masukan yang disampaikan hanya sekedar ditampung, tetapi tidak ada kesepakatan dan keputusan apapun dalam bentuk rekomendasi dalam menyelesaikan substansi masalah Omnibus Law.

Padahal, yang harus diselesaikan adalah substansi dari Klaster ketenagakerjaan yang menghapus upah minimum yaitu; UMK dan UMSK dan memberlakukan upah perjam dibawah upah minimum.

Dan untuk kembali menegaskan kalau KSPI secara bulat memastikan bahwa perjuangan penolakan Omnibus Law RUU Cipta Kerja masih akan terus berlanjut , mereka melakukan Konferensi Pers.

Dalam agenda tersebut, KSPI mengundang beberapa serikat pekerja atau serikat buruh seperti; FSP KEP KSPSI, FSPTI, FSP LEM KSPSI, FSP TSK KSPSI, SPN, Aspek Indonesia, FSPMI, FSP KEP KSPI, FSP FARKES KSPI, Forum Guru Tenaga Honorer, PPMI, FSP ISI, GOBSI, dan Federasi besar lainnya.

Selain daripada itu, acara yang berlangsung pada Senin (20/7) di Kantor Pusat KSPI, Jl. Raya Pondok Gede no. 11, Kp Dukuh, Kramat Jati, Jakarta Timur tersebut, turut mengundang wartawan dari berbagai media cetak dan online.

Said Iqbal selaku Presiden KSPI dalam Konferensi Persnya mengatakan bahwa Kita pastikan, perjuangan penolakan terhadap Omnibus Law masih akan terus berlanjut dan akan melakukan perlawanan besar-besaran di 20 Provinsi, menolak Omnibus Law.

Berikut 3 pernyataan Said Iqbal dalam Konferensi Persnya:

1. Pernyataan sikap menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

2. Pernyataan sikap stop PHK massal dampak Covid-19.

3. Persiapan Aksi ratusan ribu buruh di 20 Provinsi. Serentak, pada awal Agustus 2020.

Pos terkait