Pengadilan Hubungan Industrial: Katanya Cepat, Faktanya Lambat (3)

Jakarta, KPonline – Masih terkait dengan hasil penelitian mengenai Pengadilan Hubungan Industrial yang diterbitkan dalam dua artikel sebelumnya Pengadilan Hubungan Industrial: Katanya Cepat, Faktanya Lambat (1) dan Pengadilan Hubungan Industrial: Katanya Cepat, Faktanya Lambat (2).

Artikel ini masih kelanjutan dari artikel sebelumnya. Akan mengurai hal-hal apa saja yang membuat pengadilan hubungan industrial berjalan lambat.

Bacaan Lainnya

Proses di PHI tidak bisa cepat karena prosedur beracaranya itu sendiri dimana ada replik, duplik dan kesimpulan.

Padahal, proses beracara bisa lebih cepat kalau tanpa replik, duplik dan kesimpulan; atau dibuat hukum acara tersendiri.

Secara etimologi, replik berarti memberi jawaban kembali (balasan) atas jawaban tergugat atau para tergugat atau kuasanya. Sementara duplik merupakan jawaban tergugat/ para tergugat atas replik penggugat/ para penggugat.

Seorang informan menyatakan bahwa seringkali replik dan duplik itu hanya merupakan pengulangan dari gugatan dan jawaban atas gugatan sehingga kesannya seperti mengulangulang saja. Tentang hal ini, ada beberapa pandangan dari informan mengenai replik dan duplik.

Ada yang menganggap replik dan duplik sebagai mekanisme yang harus dilewati dan tidak dapat dihindarkan tetapi ada juga yang menganggap bahwa replik dan duplik sebenarnya tidak harus diajukan bila disepakati oleh kedua pihak.

Harus Didelegasikan Kepada Pengadilan Negeri Lain

Prinsip cepat juga sulit terlaksana apabila panggilan kepada para pihak harus didelegasikan kepada Pengadilan Negeri lain meskipun dalam satu wilayah provinsi, seperti misalnya Jawa Timur dan Kepulauan Riau (Kepri), sehingga waktu menunggu persidangan berikutnya cukup lama.

Di PHI Kepri paling tidak harus menunggu selama 3 minggu. Dalam situasi ini maka waktu 50 hari yang ditetapkan oleh undangundang menjadi tidak bisa dipenuhi.

Penyelesaiaan secara cepat juga dapat terhambat karena faktor sumber daya manusia yang terbatas jumlahnya.

Dari kelima wilayah penelitian, rata-rata PHI tidak memiliki panitera muda, panitera pengganti dan juru sita yang memadai. Salah satu PHI dalam penelitian ini hanya memiliki satu panitera muda yang merangkap sebagai juru sita, yang adalah panitera PN. Terbatasnya SDM ini menyebabkan beban yang harus ditanggung oleh SDM yang ada di PHI menjadi sangat besar.

PHI sebenarnya mengatur tentang pemeriksaan dengan cara cepat, tetapi para pihak jarang sekali memanfaatkan hal tersebut.

Sulitnya Melakukan Eksekusi

Hambatan lain terkait prinsip cepat adalah masalah eksekusi putusan pengadilan yang tidak mudah dan tidak bisa cepat.

Eksekusi putusan terutama sulit dilakukan ketika peselisihan dimenangkan oleh pekerja/ buruh, dan putusannya adalah bekerja kembali. Pekerja/ buruh menyebut putusan semacam ini sebagai macam kertas sebab pengusaha seringkali tidak bersedia menjalankan putusan itu secara sukarela. Di sisi lain pengusaha menyatakan bahwa hal itu (mempekerjakan kembali) sulit dilakukan ketika hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja sudah tidak harmonis.

Sumber: LAPORAN PENELITIAN PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (PHI) yang dilakukan oleh Suhadmadi, Endang Rokhani, Rina Herawati, dan Ika Kartika. Penelitian ini dilakukan bersama antara FSPMI dan AKATIGA pada tahun 2015.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *