Pengadilan Hubungan Industrial: Katanya Cepat, Faktanya Lambat (2)

Jakarta, KPonline – Dalam tulisan sebelumnya, sudah dijelaskan 2 (dua) faktor yang menyebabkan pengadilan hubungan industrial menjadi lambat. Pertama, faktor ketidaksiplinan para pihak terhadap jadwal sidang yang telah ditentukan. Sedangkan yang kedua adalah, faktor Pekerja/ Serikat pekerja belum memahami prosedur penyelesaiaan perselisihan hubungan industrial di PHI.

Berikut adalah faktor ketiga, yaitu:

Bacaan Lainnya

Putusan NO (Niet Onvantkelijke Verklraad/tidak dapat diterima).

Menurut Harahap (2006: 811), putusan NO merupakan putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil. Cacat formil ini terjadi karena:

1. Gugatan yang ditandatangani kuasa oleh hukum berdasarkan surat kuasa yang tidak memenuhi syarat yang digariskan Pasal 123 ayat (1) HIR.

2. Gugatan tidak memiliki dasar hukum;

3. Gugatan error in persona (gugatan dialamatkan kepada orang yang salah) dalam bentuk diskualifikasi atau plurium litis consortium (kurang pihak);

4. Gugatan mengandung cacat obscuur libel (surat gugatan tidak jelas), ne bis in idem, atau melanggar yurisdiksi (kompetensi) absolut atau relatif.

Ne bis in idem adalah asas hukum yang melarang terdakwa diadili lebih dari satu kali atas satu perbuatan kalau sudah ada keputusan yang menghukum atau membebaskannya. Gugatan yang mengandung cacat obscuur libel dalam PHI seringkali terjadi karena posita dan petitum tidak sinkron.

Posita adalah dalil yang menggambarkan adanya hubungan yang menjadi dasar atau uraian dari suatu tuntutan. Posita dianggap lengkap bila memenuhi dua unsur yaitu dasar hukum (rechtelijke grond) dan dasar fakta (feitelijke grond).

Sementara itu petitum berisi pokok tuntutan yang dimintakan oleh penggugat kepada hakim untuk dikabulkan. Petitum berupa deskripsi yang jelas tentang hal-hal apa saja yang menjadi pokok tuntutan penggugat yang harus dinyatakan dan dibebankan kepada tergugat. Selain tuntutan utama, penggugat juga dapat menambahkan dengan tuntutan pengganti misalnya menuntut membayar denda.

Penelitian ini menemukan beberapa kasus dimana majelis hakim memutus NO karena tidak sinkronnya posita dengan petitum. Dalam hal terjadi demikian, pihak penggugat kemudian melakukan perubahan surat gugatan. Menurut Saleh dan Mulyadi (2012: 121) perubahan surat gugatan memang dapat dibenarkan dalam praktik peradilan.

Tetapi bagaimanapun juga, membuat perubahan surat gugatan membutuhkan waktu dan akan berdampak pada makin lamanya waktu penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Faktor keempat adalah:

Pekerja/Serikat Pekerja pada umumnya mengalami kesulitan ketika harus melakukan pembuktian.

Menurut pasal 164 HIR/ 584RBG/1866 KUH Perdata terdapat 5 macam alat bukti yaitu: Surat, Saksi, Persangkaan, Pengakuan dan Sumpah.

Pekerja/ buruh adakalanya tidak memiliki bukti – bukti berupa surat yang dapat mendukung gugatan di pengadilan, misalnya salinan kontrak, slip gaji, surat keterangan pengangkatan dll. Sementara itu ketika bukti harus diperkuat melalui keterangan saksi, sangat sulit mendapatkan saksi yang bersedia terutama yang masih bekerja di perusahaan, hal ini terjadi karena ada beban bagi saksi karena masih adanya hubungan kerja dengan tergugat.

Faktor kelima yang membuat penghadilan di PHI lambat adalah:

Adakalanya penyelesaian secara cepat tidak dapat terlaksana justru karena factor hakim atau panitera.

Ini dapat terjadi ketika hakim karir memiliki beban perkara yang besar di Pengadilan Umum. Dalam kasus yang disampaikan informan dalam penelitian ini, pernah terjadi beberapa kali penundaan pembacaan putusan karena panitera terlambat datang. Selain itu, juga ada kasus dimana sidang ditunda karena majelis hakimnya tidak lengkap sebagaimana disampaikan oleh informan:

“… kadang kita jengkel karena misalnya nunggu putusan harusnya sudah (keluar) tapi belum selesai… saya pikir masih dalam batas-batas normal karena bagaimanapun juga… paniteranya harus menunggu dulu dari PN. Kemudian putusan harusnya dibacakan minggu ini ternyata ditunda seminggu kemudian. Kadang-kadang kita juga merasa prihatin tapi bisa dibayangkan yang ditangani oleh mereka itu berapa kasus. Kadang-kadang saya mendengar satu majelis harus memutus pada hari yang bersamaan lima kasus misalnya, berat juga ya…”  (Wawancara, 2 september 2014)

Bersambung…..

Sumber: LAPORAN PENELITIAN PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (PHI) yang dilakukan oleh Suhadmadi, Endang Rokhani, Rina Herawati, dan Ika Kartika. Penelitian ini dilakukan bersama antara FSPMI dan AKATIGA pada tahun 2015.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *