Pengadilan Hubungan Industrial: Katanya Cepat, Faktanya Lambat (1)

Jakarta, KPonline – Peradilan Cepat Pengertian cepat dalam PHI adalah jalannya proses penyelesaian tidak memakan waktu lama dan tidak berbelit-belit. Berikut adalah Pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 yang mengatur mengenai peradilan cepat.

Pasal 88 mengatur bahwa setelah gugatan didaftarkan maka dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja Ketua Pengadilan Negeri harus sudah menetapkan komposisi majelis hakim yang akan memeriksa dan mengadili perkara tersebut.

Bacaan Lainnya

Pasal 89 mengatur bahwa selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak tanggal penetapan majelis hakim, ketua majelis hakim harus sudah melaksanakan sidang yang pertama.

Pasal 93 mengatur bahwa apabila di dalam proses persidangan tersebut terjadi penundaan, maka maksimal penundaan yang dapat diberikan dikarenakan oleh ketidakhadiran oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak adalah 2 (dua) kali penundaan.

Pasal 103 mengatur bahwa majelis hakim wajib sudah memberikan putusan atas perselisihan hubungan industrial tersebut selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal sidang pertama. Artinya, penanganan perkara harus dapat selesai dalam batas waktu yang telah ditetapkan tersebut. Majelis hakim tidak diperkenankan menangani perkara secara berlarut-larut.

Pasal 105 mengatur bahwa Panitera Pengganti PHI dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah putusan majelis hakim dibacakan, harus sudah menyampaikan putusan kepada pihak yang tidak hadir dalam sidang pembacaan putusan.

Pasal 106 mengatur bahwa selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah putusan tersebut ditandatangani, maka panitera muda harus menerbitkan salinan putusan.

Pasal 107 mengatur bahwa Panitera pengadilan negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah salinan putusan tersebut diterbitkan, harus sudah mengirimkan salinan putusan tersebut kepada para pihak.

Penelitian ini menemukan bahwa batas waktu yang telah ditentukan tidak selalu di penuhi. Akibatnya penyelesaian perselisihan menjadi lama.

Berikut ini adalah gambaran proses administrasi dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di PHI.

Meskipun UU no 2 tahun 2004 telah menetapkan prosedur penyelesaiaan maksimal 50 hari kerja, penelitian ini menemukan bahwa aturan tersebut belum terlaksana sepenuhnya di lima PHI yang diteliti. Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan kasus di PHI berkisar antara 50 hari – 240 hari (8 bulan).

Pengalaman paling cepat dialami oleh pekerja yang beracara di PHI Jakarta dan Jawa Barat yang punya pengalaman penyelesaiaan kasus selama 50 hari, sedangkan yang paling lama dialami oleh pekerja di PHI Surabaya, hingga 8 bulan.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan penyelesaian perselisihan di PHI itu menjadi tidak cepat yaitu:

1. Ketidaksiplinan para pihak terhadap jadwal sidang yang telah ditentukan.

Ketidakdisiplinan ini sering terjadi, bukan hanya pada pengusaha atau pengacara pengusaha tetapi juga pada pekerja/ buruh dan serikat pekerja/ serikat buruh dan akan berdampak langsung pada mundurnya waktu penyelesaiaan perkara.

Seorang informan menyatakan : … kalau para pihak, baik tergugat maupun penggugat hadir (sesuai jadwal yang sudah ditentukan), paling lama 3 bulan akan selesai (kasusnya). Tapi terkadang kasusnya baru selesai setelah 6 bulan…. Sampai harus dibuat relaas (panggilan sidang) karena tergugatnya tidak hadir atau penggugatnya yang tidak hadir. (wawancara, 25 Agustus 2014)

2. Pekerja/ Serikat pekerja belum memahami prosedur penyelesaiaan perselisihan hubungan industrial di PHI.

Hal ini dinyatakan baik oleh pekerja sendiri, maupun oleh pihak lain seperti pengacara pengusaha maupun hakim di PHI. Sebagaimana telah diuraikan di bagian awal laporan ini, prosedur beracara di PHI menggunakan hukum acara perdata umum. Hal ini menuntut pengetahuan hukum yang cukup.

Sebenarnya, beberapa Serikat Pekerja/ Serikat Buruh telah memiliki divisi bantuan hukum sendiri yang dikelola oleh anggota SP/SB dengan latar belakang pendidikan Sarjana Hukum, maupun anggota/ pengurus yang telah mendapatkan pelatihan mengenai bantuan hukum. Sekalipun demikian, dalam praktiknya masih sering ditemukan kelemahan SP/SB dalam beracara di PHI. Di dalam Hukum Acara Perdata, beban pembuktian ada di pihak penggugat.

Ini berarti, ketika pekerja/ buruh baik sendiri maupun melalui kuasa hukumnya yaitu Serikat Pekerja/ Serikat Buruh menggugat pengusaha, pekerja/ buruh inilah yang harus mengajukan bukti-bukti untuk menguatkan gugatannya. Masalahnya, bukti tertulis berupa dokumen-dokumen biasanya dimiliki/ disimpan oleh pihak pengusaha dan tidak dapat dengan mudah diakses oleh pekerja/ buruh. Sekalipun demikian, dari sisi hukum, pekerja/ buruh tetap harus mampu menyediakan bukti-bukti tersebut. Hal inilah yang seringkali gagal dilakukan/ disiapkan oleh pekerja/ buruh.

Bersambung…..

Sumber: LAPORAN PENELITIAN PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (PHI) yang dilakukan oleh Suhadmadi, Endang Rokhani, Rina Herawati, dan Ika Kartika. Penelitian ini dilakukan bersama antara FSPMI dan AKATIGA pada tahun 2015.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *