Pelarangan Sepeda Motor Bukan Solusi Atasi Kemacetan

Jekarta, KPonline – Pelarangan sepeda motor akan diperluas. Jika sebelumnya hanya di Jalan Medan Merdeka Barat hingga Jalan MH Thamrin atau Bundaran Hotel Indonesia (HI), akan diperluas dari Bundaran Hotel Indonesia menuju Bundaran Senayan, atau sepanjang Jalan Sudirman. Selain itu sepeda motor juga tidak boleh melintas di Jalan Rasuna Said hingga Jalan Imam Bonjol.

Uji coba pembatasan akan dilakukan mulai 12 September hingga 10 Oktober 2017, sebelum diberlakukannya secara resmi larangan bagi sepeda motor melintas kawasan tersebut mulai pukul 06.00 sampai pukul 23.00 WIB.

Pemerintah beralasan, pelarangan motor dilakukan untuk mengurangi kemacetan.

Akan tetapi banyak orang meragukan kemacetan bisa diatasi hanya dengan melarang motor melewati jalan-jalan utama. Berkaca pada kebijakan pelarangan sepeda motor di kawasan Sudirman-Thamrin saat ini, nyatanya tak terlalu berdampak mengurangi kemacetan.

Perbandingan badan jalan dan kendaraan.

Logikanya sederhana. Jumlah motor memang lebih banyak jika dibandingkan mobil. Tetapi keberadaan mobil lebih banyak menggunakan badan jalan. Inilah yang menyebabkan kemacetan.

Lihat saja, di jalan-jalan utama tadi, sesungguhnya justru mobil yang mendominasi.

Kalau mau mengurangi kemacetan, seharusnya yang dilarang lewat di jalan-jalan utama adalah mobil pribadi. Cukup angkutan umum saja yang boleh melintas.

Hal ini, juga untuk menghindari diskriminasi. Toh para pengguna motor juga membayar pajak, yang duitnya digunakan untuk membiayai pembangunan jalan-jalan itu.

Jika pelarangan hanya ditujukan kepada mobil, ada kesan, yang kecil selalu disingkirkan. Mereka yang besar selalu dimenangkan.

Ini seperti hendak meneguhkan pepatah, bahwa hukum selalu tajam ke bawah.

Jangan sampai terjadi, kebijakan ini seperti menyuruh orang untuk mengganti roda dua menjadi roda empat. Kalau tak mau dilarang, ganti motormu dengan mobil. Begitu kira-kira.

Sedang untuk beralih ke angkutan umum, masih terdapat banyak kendala.

Tidak berlebihan jika kemudian, untuk menolak pembatasan ini, pengguna sepeda motor akan menggelar unjuk rasa untuk menolak kebijakan perluasan pelarangan sepeda motor di Jakarta pada 9 September 2017. Unjuk rasa itu dengan turun ke jalan itu akan melibatkan 5.000-an pengguna sepeda motor.

Ketua Road Safety Association (RSA) Ivan Virnanda mengatakan, aksi itu akan diikuti berbagai komunitas pengendara sepeda motor atau bikers.

“Kami akan coba ingatkan para penguasa di Jakarta. Sejumlah komunitas, klub motor, serta pengguna roda dua akan mengikuti aksi damai tersebut,” ujar Ivan dalam konferensi pers di Kantor LBH Jakarta, Jalan Diponegoro, Minggu (3/9/2017).

Pemotor akan menyampaikan pendapat di Kawasan Patung Kuda dan IRTI, Monas, Jakarta Pusat.

RSA mengklaim, kebijakan pelarangan motor diwacanakan dengan proses yang tak berimbang. Pihak pengguna, seperti masyarakat, tidak dilibatkan langsung dalam proses diskusi.

“Kami sebagai salah satu elemen masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, dan kami menilai Larangan ini akibat kepanikan pemerintah karena tidak sanggup menyediakan transportasi publik yang aman nyaman, tepat waktu dan terjangkau,” klaim Rio.

RSA menilai, transportasi publik belum bisa dikatakan lebih baik ketimbang menggunakan sepeda motor di wilayah tersebut.

“Saat jam sibuk, koridor I Bus TransJakarta yang berada di jalur pelarangan itu seharusnya headway 7 menit di waktu sibuk dan 15 menit waktu normal, tapi saat ini masih terlalu lama bisa 15 menit di waktu sibuk,” kata Rio.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar

  1. Buat apa kita masyarakat ataupun buruh bayar PAJAK, kalau ujung-ujungnya kita tidak bisa memakai fasilitas negara ataupun dibatasi,,
    Pajak makin ditekan tapi segala sesuatu nya dibatasi sehingga mempersulit masyarakat dan buruh.
    Bukannya Pemerintah mencari SOLUSI malah menambah masalah.