Pelarangan Cadar, Ketakutan yang Tidak Beralasan

Jakarta, KPonline – Apa yang ditakutkan dari perempuan yang memakai cadar?

Kabar adanya larangan terhadap mahasiswi di sebuah universitas Islam memakai cadar membuat saya bertanya-tanya. Siapa yang dirugikan? Apa yang ditakutkan? Saya menganggap, pelarangan itu terkesan mengada-ada. Bahkan merupakan penghinaan terhadap nilai-nilai akademis.

Dilansir dari Republika.co.id (6/3/2018), Wakil Rektor UIN Suka, Sahiron Syamsuddin, mengungkapkan, pelarangan cadar tersebut tak terlepas dari alasan pedagogis. Menurut dia, jika mahasiswinya tetap menggunakan cadar di dalam kelas, para dosen tentu tidak bisa membimbingnya dengan baik dan pendidiknya tidak dapat mengenali wajah mahasiswinya.

“Kalau di kelas mereka pakai cadar, kan dosen tidak bisa menilai apakah yang datang di kelas itu memang mahasiswa atau bukan,” ujar Sahiron, seperti dikutip Republika.co.id.

Sebelumnya, Rektor UIN Sunan Kalijaga Yudian Wahyudi menandatangani Surat Edaran Nomor B-1301/Un.02/R/AK.00.3/02/2018 perihal Pembinaan Mahasiswa Bercadar. Surat edaran itu ditujukan kepada dekan fakultas, direktur pascasarjana, dan kepala unit atau lembaga pada 20 Februari 2018. Mereka diminta untuk mendata dan membina mahasiswi bercadar dan data diberikan kepada Wakil Rektor III paling lambat 28 Februari 2018.

“Surat edaran dibuat untuk menertibkan kampus mengingat Kementerian Agama ingin kampus menyebarkan Islam moderat, yakni Islam yang mengakui dan mendukung Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI,” ujar Yudian dalam jumpa pers di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Senin (5/3/2018), sebagaimana dilansir liputan6.com.

Ini bukan saja tidak adil. Tetapi juga kesalahan dalam berfikir. Kalau memang ada perempuan yang memakai cadar kemudian melakukan kesalahan, semestinya perempuan itulah yang diberikan sanksi. Bukan kemudian menganggap semua perempuan bercadar tidak benar. Itu sama saja dengan menuduh semua orang bertato adalah preman, hanya karena ada beberapa preman yang memiliki tato.

Katanya Bhinneka Tunggal Ika? Bukankah itu artinya kita siap terhadap perbedaan. Lalu mengapa kita berambisi untuk “menghabisi” yang berbeda?

Jika kemudian alasannya adalah Pancasila, mengapa tidak fokus terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalamnya? Ambil salah satu, misalnya, tentang keadilan sosial. Mustinya kita dengan lantang menuntut ketimpangan sosial diakhiri, atau menolak pencabutan subsidi yang mengakibatkan jatuhnya daya beli dan membuat si miskin bertambah berat beban hidupnya. Bukan malah sibuk pada symbol, terlebih lagi bercadar atau tidak bercadar adalah keputusan pribadi seseorang.

Sumber Gambar: tribunnews.com