Partai Buruh ‘Ngotot’ Gugat UU PPP, Ini Alasannya

Purwakarta, KPonline – Sebagaimana diketahui, Partai Buruh terlihat begitu ngotot menggugat Undang-undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP) ke MK. Sejumlah alasan diajukan, mulai dari melegalkan omnibus law hingga UU boleh salah ketik.

“Dengan berlakunya Pasal a quo akan menimbulkan kesulitan bagi pembentuk undang-undang dalam memperhatikan dan membahas suatu undang-undang yang dibentuk dengan metode omnibus yang memuat banyak subjek (tidak satu rumpun/bidang), sehingga justru hanya akan menimbulkan ketidakpastian hukum,” demikian bunyi permohonan Partai Buruh.

Bacaan Lainnya

Menurutnya, kekuasaan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dengan metode omnibus semestinya juga harus dibatasi agar tidak terjadi penyalahgunaan.

“Pengaturan Pasal 64 ayat 1b UU PPP, metode omnibus yang diatur dalam norma a quo tidak memiliki kepastian mengenai batasan materi muatan yang dapat digabungkan dalam satu peraturan perundang-undangan. Tidak adanya batasan tersebut berpotensi menyebabkan puluhan, ratusan, ribuan, bahkan jutaan materi muatan dapat dibentuk dalam satu peraturan perundang-undangan,” urai Said Iqbal.

Diketahui, UU PPP ini direvisi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada Mei 2022 lalu.

Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, menyebut, judicial review (JR) dilakukan oleh Partai Buruh bersama dengan 60 Federasi Serikat Buruh, SPI, JALA PRT, UPC, Forum Guru Honorer, Buruh Migran, dan Ojek Daring.

Selanjutnya, dikutip dari Kompas.com, Wakil Presiden Partai Buruh Agus Supriyadi mengatakan, pihaknya mengajukan uji materil dan formil terhadap UU No.13 Tahun 2022 tentang peraturan pembentukan perundang-undangan (UU PPP).

“Kami melihat ada kerugian, khususnya untuk Partai Buruh beserta seluruh buruh di Indonesia karena menyangkut ada keterkaitannya dengan UU cipta kerja atau Omnibus law,” jelas dia di Mahkamah Konstitusi pada Senin (27/6/2022).
Ia juga menambahkan bahwa Undang-undang No.13 Tahun 2022 tentang peraturan pembentukan perundang-undangan (UU PPP) merugikan buruh karena pada pasal 64 disebutkan, peraturan perundang-undangan bisa dibuat secara omnibus law.

“Nah ini yang menjadi keberatan buat kami dari partai buruh,” pungkasnya.

Senada dengan hal yang sama, kuasa hukum Partai Buruh Said Salahuddin mengatakan, kerugian konstitusional yang dialami adalah tidak adanya keterlibatan kaum buruh, petani, dan nelayan.

Ia menjelaskan, seharusnya pihak-pihak tersebut dilibatkan dalam revisi UU PPP, karena revisi ini menyangkut UU Cipta Kerja.

“Jadi mengulangi UU Cipta Kerja, revisi UU PPP tidak ada keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna. Padahal, secara teoretis, ini satu hal yang mutlak,” lanjutnya.

“Saya sangat yakin Mahkamah Konstitusi akan membatalkan ini (UU PPP hasil revisi). Karena sebuah RUU yang ditetapkan dalam rapat DPR, RUU tersebut sudah berubah menjadi UU. Itu namanya pengesahan materiil,” ujar Said Salahuddin.

Pos terkait