Panggung Perlawanan

Jakarta, KPonline – Ketika mendapat kabar Panitia Kerja RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) melanjutkan pembahasan, KSPI merespon dengan aksi. Ini sebentuk kekecewaan, juga kecaman, pada mereka yang mestinya mengutamakan kepentingan rakyat.

Padahal sebelumnya, pimpinan DPR menegaskan bahwa selama masa reses tidak akan ada pembahasan omnibus law.

Tapi janji tinggal janji. Mudah sekali diingkari. Itulah yang membuat KSPI bereaksi dan menegaskan jika pihaknya akan melakukan aksi setiap pekan.

“Setiap kali pembahasan omnibus law dilakukan, setiap kali itu juga kita akan menggelar panggung perlawanan,” kata Presiden KSPI, Said Iqbal.

Gelombang aksi pun dilakukan. Tidak besar, memang. Tetapi cukup untuk membuktikan jika gerakan buruh tidak diam melihat proses penyusunan omnibus law yang kian ugal-ugalan.

Saya mencatat, di sepanjang bulan Juli saja, aksi buruh terjadi di banyak tempat. Mulai dari Gorontalo, NTB, Makassar, Bandung, Karawang, Cilegon, Lampung, dan masih banyak lagi. Itu belum termasuk aksi yang dipusatkan di Jakarta.

KSPI sendiri, sudah dua kali menggelar aksi. Pertama di DPR RI dan Kantor Menko Perekonomian pada tanggal 29 Juli. Sedangkan aksi kedua tanggal 3 Agustus di DPR RI.

Aksi Tandingan

Di Kantor Menko Perekonomian, bersamaan dengan aksi KSPI, ada aksi tandingan.

Jika KSPI menyuarakan penolakan terhadap omnibus law, mereka justru sebaliknya. Memberikan dukungan agar omnibus law segera disahkan.

Mereka mengatakan, omnibus law baik untuk perekonomian. Tanpa merinci bagian mana di dalam omnibus law yang membawa kebaikan itu.

Sementara bagi buruh, setiap pasal sudah dilakukan analisa. Dibandingkan dengan undang-undang yang saat ini masih eksis, apa yang diatur dalam omnibus law jauh lebih buruk.

Saya akan memperlihatkan satu saja contoh di dalam omnibus law yang merugikan buruh. Dalam UU No 13 Tahun 2003, pengusaha, serikat buruh, dan pemerintah dengan segala upaya harus mencegah agar tidak terjadi PHK. Tetapi dalam omnibus law ketentuan ini dihilangkan.

Dampaknya, PHK akan semakin mudah.

Ada yang bilang, tanpa omnibus law, saat ini pun PHK mudah dilakukan.

Pertanyaannya adalah, apa jadinya jika aturan PHK dibuat semakin mudah? Gelombang PHK akan semakin besar. Apalagi nilai pesangon dikurangi. Lengkap sudah penderitaan.

Itu hanya satu. Jika dirinci, masih banyak lagi kerugian yang akan diderita rakyat.

Itulah sebabnya kaum buruh bersama elemen gerakan sosial yang lain menolak omnibus law. Kalau beleid itu membawa kebaikan, tidak mungkin ditolak di mana-mana.

Kembali ke soal aksi tandingan di depan Menko Perekonomian yang sempat ricuh itu. Hal ini memperlihatkan adanya pihak-pihak tertentu yang sengaja menciptakan konflik horizontal.

Pun tidak ada itikad baik untuk menampung aspirasi dari pengunjuk rasa. Buktinya, pihak Kemenko Perekonomian menemui perwakilan buruh di pos security. Sekedar basa-basi. Bagaimana mau berdiskusi jika tempat pertemuan di ruang sempit seperti itu.

Belakangan muncul di media sosial, sebuah poster bertuliskan; Said Iqbal mengorbankan nyawa buruh untuk kepentingannya sendiri dengan mengajak demo seminggu sekali saat covid-19 masih merajalela.

Beberapa kali, Said Iqbal mengatakan bahwa dia siap menerima resiko atas perjuangan ini. Di bully salah satunya. Juga fitnah-fitnah yang ditebarkan, bahwa apa yang dilakukannya demi mengejar ambisi pribadi.

“Serangan” ke Said Iqbal bukan sekali dua kali terjadi. Tetapi cara-cara seperti ini tidak akan mengendurkan daya juang untuk melakukan penolakan terhadap omnibus law.

Mengapa? Seperti yang saya sampaikan di atas, sikap penolakan itu didasarkan pada hasil kajian. Bukan sekedar ikut-ikutan.

Kita bergerak dengan kesadaran. Bukan sekedar ikut-ikutan.

Buruh tidak akan mudah terpengaruh dengan tipuan, bahwa omnibus law baik untuk perekonomian.