Pandainya Teten Masduki Bersilat Lidah

Jakarta, KPonline – Kepala Kantor Staf Presiden Teten Masduki angkat bicara soal tarif dasar listrik. Dia mengatakan, “Tidak benar ada kenaikan tarif dasar listrik.”

Kemudian Teten menjelaskan, pemerintah mensubsidi dua kategori konsumen. Pertama, subsidi sebesar Rp 23,94 triliun kepada konsumen 450 VA. Kedua, subsidi sebesar Rp 5,78 triliun kepada konsumen 900 VA. PLN kemudian memindahkan sebagian besar konsumen 900 VA ke tarif non-subsidi. Alasannya, banyak konsumen kategori itu yang ternyata berasal dari ekonomi menengah ke atas.

Teten Masduki boleh saja mengatakan tidak ada kenaikan tarif. Tetapi fatanya, masyarakat membayar lebih mahal. Jika pada tahun 2016 masyarakat hanya membayar Rp 605/Kwh, mulai bulan Januari 2017 masyarakat harus membayar Rp 791/Kwh. Kemudian naik lagi menjadi Rp 1.034/Kwh pada 1 Maret 2017 dan menjadi Rp 1.352/Kwh pada 1 Mei 2017. Tidak berhenti sampai di sini, pada 1 Juli 2017, kabarnya akan naik lagi menjadi Rp 1.467,28/Kwh.

Berdasarkan data-data di atas, bagaimana bisa Teten mengatakan jika hal ini bukan kenaikan harga? Boleh jadi Teten lebih suka menggunakan kalimat yang lain, semisal penyesuaian tarif. Tetapi maknanya tetap saja sama. Masyarakat membayar lebih mahal dari sebelumnya. Itu artinya, ada kenaikan harga listrik.

Ada persepsi yang berbeda. Bagi Pemerintah, ini adalah pengalihan subsidi. Tetapi rakyat hanya melihat akibat, yakni membayar lebih mahal dari sebelumnya. Dengan kata lain, ada kenaikan.

Ibarat kata pepatah, Teten Masduki sedang bersilat lidah.

Sudah banyak masyarakat yang mengeluhkan kenaikan harga listrik ini. Seperti diberitakan tirto.id tanggal 15 Mei 2017, saat listrik masih disubsidi, Lena hanya membayar sekira Rp70 ribu sampai Rp80 ribu per bulan untuk melunasi tagihan listrik. Tapi kini ia harus mengeluarkan paling sedikit Rp200 ribu per bulan. Bagi istri guru honor dengan gaji Rp1.5 juta per bulan dan dua orang anak ini, uang seperak dua perak sangat besar. Apalagi di tengah tinggi harga-harga sembako sekarang ini.

“Pemerintah terlalu!” kata warga Jagakarsa Jakarta Selatan ini.

Keberatan senada disampaikan Arka. Ibu rumah tangga yang tinggal di Depok, Jawa Barat, ini bilang tagihan listriknya berlipat hingga lebih 100 persen. Dari biasanya sekitar Rp85 ribu per bulan menjadi kini Rp175 ribu. “Sangat memberatkan,” ujar ibu satu anak ini.

Ekonom senior Rizal Ramli menyinggung pencabutan subsidi listrik yang dilakukan pemerintah terhadap pelanggan listrik golongan 900 VA. Menurutnya, hal ini kurang tepat mengingat masyarakat golongan ini merupakan masyarakat yang hidupnya hanya berada tipis di atas garis kemiskinan.

“Kalau 900 VA itu nyaris miskin (near poor),” kata Rizal Ramli. Ketika subsidi dicabut, bisa jadi dia akan jatuh miskin.

Lebih dari itu, sepertinya pemerintah tutup mata akan kemiskinan yang ada di negeri ini. Sebelum pencabutan subsidi, banyak listrik berdaya 450 Vdiganti dengan yang 900 V. Akibatnya, mayoritas pelanggan listrik memakai 900 V. Kemudian pelanggan 900 V dinyatakan mampu sehingga subsidinya dicabut. Pernahkah pemerintah melihat kondisi masyarakat pemakai listrik 900 V secara menyeluruh? Banyak diantara mereka hidupnya pas-pasan. Jangankan menabung, untuk cukup makan saja susaah.

Polanya mirip dengan BBM jenis premium yang dibatasi. Di beberada daerah, begitu sulit mendapatkan premium. Karena stock sudah tidak tersedia, mau tidak mau masyarakat membeli pertalite atau pertamax, dengan biaya yang lebih mahal.

Wajar jika banyak yang menduga, kenaikan ini — atau katakanlah pemcabutan subsidi — hanyalah cara pemerintah untuk mendapatkan uang dari rakyat. Entah untuk apa dan buat siapa?

Sumber gambar: kompasiana.com