Pakar Hukum Sebut Aturan Turunan Mustahil Perbaiki UU Cipta Kerja

Aturan Turunan Mustahil Perbaiki UU Ciptaker

Aturan pelaksanaan omnibus law yang tengah disusun pemerintah mustahil dapat memperbaiki kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam UU Cipta Kerja.

Janji Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marvest) Luhut Binsar Panjaitan untuk membenahi masalah-masalah tersebut melalui aturan turunan hanyalah “gula-gula”.

Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), dan Peraturan menteri (Permen) yang sedang disusun oleh pemerintah merupakan produk regulasi (‘regulative or executive acts’). Kesemua perangkat hukum itu dibentuk dalam rangka menjalankan produk legislasi (‘legislative acts’), yaitu undang-undang.

Dalam konteks itu berlaku asas ‘lex superior derogat legi inferior’. Suatu aturan haruslah dibentuk dengan mendasarkan pada aturan diatasnya. Dan aturan yang dibentuk tersebut tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.

Merujuk prinsip hukum diatas, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan lebih tegas lagi menyatakan bahwa secara hierarki, kedudukan PP, Perpres, dan Permen, berada dibawah undang-undang.

Dengan demikian, materi muatan PP, Perpres, serta Permen nantinya pastilah akan merujuk pada semangat yang terkandung dalam UU Cipta Kerja. Sebab, produk regulasi sama sekali tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam produk legislasi.

Akibatnya, peluang untuk memperbaiki problematik UU Cipta Kerja melalui PP, Perpres, maupun Permen otomatis tertutup.

Jadi, mau se-transparan dan se-akomodatif apapun pemerintah dalam proses penyusunan produk regulasi tersebut, hasilnya kelak akan sama saja: norma yang diatur dalam PP, Perpres, dan Permen sulit diharapkan dapat memulihkan kerugian konstitusional masyarakat, terutama elemen buruh, atas berlakunya UU Cipta Kerja.

Oleh sebab itu, rencana pembenahan UU Cipta Kerja yang dijanjikan Menko Marvest tersebut menurut saya hanya sekedar gula-gula untuk menyenangkan hati pimpinan buruh. Taktik itu digunakan sebagai alat pemikat agar pimpinan buruh mau terlibat dalam proses penyusunan PP, Perpres, dan Permen.

Padahal, para pimpinan buruh itu bukan orang-orang bodoh yang mudah terperdaya oleh iming-iming dan janji gombal semacam itu. Mereka paham bahwa apa yang dijanjikan pemerintah tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dan aturan-aturan hukum.

Maka, wajar saja jika kemudian banyak dari pimimpinan buruh yang sedari awal sudah menyatakan penolakannya untuk terlibat dalam proses penyusunan PP, Perpres, dan Permen Cipta Kerja. Mereka sadar keterlibatannya dalam proses penyusunan produk-produk regulasi itu tidak akan memberi manfaat apa-apa bagi buruh.

Said Salahudin
Pemerhati Hukum Tata Negara/
Direktur Sinergi masyarakat untuk demokrasi Indonesia (Sigma)