Outsourcing = Perbudakan Zaman Now

Bogor, KPonline – Berbicara tentang hal-hal perburuhan di zaman sekarang ini sudah tidak akan lagi kaget dengan sistem kerja outsourcing atau lebih dikenal di kalangan pekerja/buruh adalah sebuah sistem kerja yang melalui sebuah yayasan atau perusahaan penyedia jasa pekerja (PPJP).

Sistem kerja outsourcing bagi kaum buruh sebenarnya sangat merugikan, karena justru seringkali penerapan sistem kerja outsourcing tidak sesuai dengan aturan yang ada yaitu Undang – Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 dan Kepmenakertrans No.Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh, atau biasa disingkat dengan Kepmen 101/2004.

Bacaan Lainnya

Hal yang biasanya dilanggar oleh pihak perusahaan yaitu permasalahan kontrak atau masa kerja. Dikalangan buruh, permasalahan kontrak kerja sudah banyak terjadi, banyak yang sudah bekerja selama 3 tahun masih saja statusnya sebagai buruh/karyawan kontrak. Bahkan ada yang lebih dari 5 tahun bekerja, akan tetapi status buruh tersebut masih saja sebagai buruh/karyawan kontrak.

Aturan kontrak atau perjanjian kerja outsourcing/PPJP sudah diatur UU No.13 Tahun 2003 pasal 64, pasal 65 dan pasal 66. Bunyi dari pasal tersebut adalah :
Pasal 64:
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerja kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.

Pasal 65
(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.

(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebaga berikut:
a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
Tidak menghambat proses produksi secara langsung.

(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk badan hukum.

(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

(6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulisa antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakan.

(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.

(8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.

Pasal 66,
Penyediaan jasa pekerja./buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut : Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerj/buruh;

UU 13/2003 Pasal 1 ayat 15 menyatakan, “Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.”

Pekerja dari perusahaan penyedia jasa pekerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atas kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.

Hal lain yang biasanya dilanggar oleh perusahaan dalam hal outsourcing adalah perihal penempatan kerja. Masih banyak perusahaan yang bekerja sama dengan perusahaan penyedia jasa pekerja atau buruh lebih mengenal yayasan melanggar penempatan kerja si pekerja outsourcing. Sebagai contoh banyak pekerja outsourcing yang ditempatkan di kegiatan utama (core bussines).

Hal ini tidak sesuai dengan UU No.13 Tahun 2003 pasal 66 ayat (1) yang menyatakan “Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakankegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi” .

Kedua hal ini mungkin terjadi di perusahaan anda atau di perusahaan teman anda bekerja. Penempatan kerja, perjanjian kerja yang berhubungan dengan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja (PPJP) atau outsourcing sudah diatur di UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 pasal 64, 65 & 66. Di pasal 66 ayat (4) diatur “Dalam hal ketentuan sebagai mana dimaksud dalam ayat(1), ayat (2) huruf a, huruf b dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi kerja”.

Kita sering membaca berita, mendengar berita atau melihat langsung aksi pekerja di perusahaannya yang menuntut pengangkatan karyawan sampai demo beberapa hari, biasanya adanya pelanggaran aturan UU No.13 Tahun 2003 dan mungkin juga melanggar aturan perihal outsourcing tersebut diatas. Melihat, menyaksikan, apalagi merasakan langsung praktek-praktek illegal sistem kerja outsourcing, apa yang akan kamu lakukan? Diam tertindas, atau bangkit melawan? (Gio/ UU 13/2003)

Pos terkait