Purwakarta, KPonline – Outsourcing atau alih daya telah menjadi istilah yang sangat akrab di telinga pekerja Indonesia, terutama dalam dua dekade terakhir. Di balik istilah yang tampak modern ini, outsourcing menyimpan dinamika yang kompleks: antara efisiensi bisnis yang dijanjikan oleh pengusaha dan ketidakpastian hidup yang dirasakan para pekerja. Bagaimana sebenarnya sejarah kemunculan sistem outsourcing ini di Indonesia? Apa motivasi di balik penerapannya, dan bagaimana praktik ini berkembang menjadi salah satu isu paling kontroversial dalam hubungan industrial?
Istilah outsourcing berasal dari dunia bisnis internasional, yang mulai populer di Amerika Serikat pada era 1980-an. Saat itu, perusahaan-perusahaan besar mulai melakukan strategi penghematan biaya dengan menyerahkan sebagian kegiatan usahanya kepada pihak ketiga, khususnya bagian yang dianggap bukan inti (non-core business), seperti kebersihan, keamanan, atau administrasi.
Motivasinya sederhana, yaitu efisiensi biaya dan fokus pada kompetensi inti perusahaan. Namun seiring berjalannya waktu, praktik ini pun meluas menyasar ke bidang-bidang yang lebih luas, bahkan ke sektor-sektor strategis seperti manufaktur dan pelayanan publik.
Di Indonesia, praktik serupa sebenarnya telah ada sejak masa Orde Baru. Namun istilah “outsourcing” mulai dikenal secara luas pasca krisis moneter 1997-1998, saat perusahaan-perusahaan mulai mencari cara untuk menekan ongkos produksi dan tetap bertahan dalam tekanan ekonomi. Puncaknya terjadi ketika Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan secara legal mengatur praktik outsourcing.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 pasal 64 hingga 66 menjadi dasar hukum outsourcing di Indonesia. Dalam pasal-pasal tersebut, perusahaan dibolehkan menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh.
Namun sejak awal, pasal-pasal ini menuai polemik. Serikat pekerja mengkritik bahwa ketentuan ini membuka jalan bagi pengusaha untuk menghindari kewajiban-kewajiban normatif terhadap buruh, seperti pengangkatan sebagai karyawan tetap, pemberian pesangon, hingga kepastian kerja. Padahal pada praktiknya, banyak pekerjaan inti juga dilakukan oleh pekerja outsourcing.
Dan yang terjadi bukan hanya pekerjaan non-inti, tapi bagian produksi utama pun diserahkan ke outsourcing. Ini tentunya melanggar prinsip yang telah ditentukan oleh UU itu sendiri.
Data dari berbagai survei yang dilakukan oleh lembaga-lembaga independen dan serikat buruh menunjukkan bahwa pekerja outsourcing umumnya menerima upah yang lebih rendah, tidak mendapatkan jaminan sosial secara penuh, serta memiliki status kerja yang tidak pasti.
Dalam laporan serikat pekerja atau serikat buruh, tahun 2012 ditemukan bahwa praktik outsourcing sering disertai dengan pelanggaran hak asasi buruh. Pekerja outsourcing sering mengalami pemutusan hubungan kerja sepihak, tidak ada perjanjian kerja tertulis, dan sulit mengakses hak-haknya seperti cuti, tunjangan hari raya, dan jaminan kesehatan.
Bahkan lebih jauh, ada perusahaan outsourcing yang hanya berbentuk “koperasi pekerja” atau “vendor fiktif” yang dibentuk oleh pengusaha sendiri demi menghindari kewajiban normatif. Singkatnya, pekerja outsourcing itu seperti buruh kontrak yang tidak punya masa depan. Statusnya bisa diakhiri kapan saja.
Kemudian, sejak 2004, gerakan buruh mulai menyuarakan penolakan terhadap sistem outsourcing yang dianggap eksploitatif. Tuntutan ini menjadi salah satu agenda utama dalam berbagai aksi buruh berskala nasional, seperti dalam May Day dan aksi-aksi nasional yang diorganisasi serikat-serikat besar seperti FSPMI-KSPI, KSPSI dan KASBI.
Tuntutan mereka tegas, yaitu; pekerjaan tetap harus diberikan status tetap. Jika outsourcing hanya diperbolehkan untuk pekerjaan non-inti, maka harus ditegakkan dengan pengawasan ketat dan batasan yang jelas.
Pemerintah sempat merespons dengan menerbitkan berbagai regulasi turunan, seperti Kepmenakertrans No. 19 Tahun 2012, yang berisi pembatasan jenis pekerjaan yang bisa dioutsourcingkan. Namun regulasi ini justru ditarik kembali karena tekanan dari kalangan pengusaha.
Selanjutnya, pada tahun 2020, lahirlah (Omnibuslaw) UU Cipta Kerja yang merevisi UU Ketenagakerjaan. Dalam Omnibus Law, ketentuan tentang outsourcing justru menjadi lebih longgar. Tidak ada lagi batasan eksplisit soal jenis pekerjaan yang boleh di-outsourcing-kan.
Pasal-pasal dalam Omnibus Law menghilangkan larangan eksplisit tentang outsourcing pekerjaan inti, yang dulunya diatur secara ketat. Ini memicu protes besar-besaran dari buruh, yang menilai bahwa negara justru semakin menjauh dari perlindungan terhadap pekerja.
“UU Cipta Kerja seperti kembali ke zaman penjajahan. Semua bisa dioutsourcingkan. Tidak ada lagi kepastian kerja”
Namun, harapan/keinginan kelas pekerja prihal outsourcing kembali muncul saat Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi sejumlah pasal dalam UU Cipta Kerja. Dalam putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dan kemudian dikuatkan oleh Putusan MK Nomor 6/PUU-XXI/2023, MK menilai bahwa beberapa ketentuan dalam UU Cipta Kerja, termasuk mengenai outsourcing, cacat formil dan bertentangan dengan UUD 1945.
MK menyatakan bahwa perlindungan terhadap pekerja harus tetap menjadi pertimbangan utama dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Prinsip kepastian kerja, kesejahteraan, dan keadilan sosial bagi buruh tidak boleh dikorbankan atas nama fleksibilitas pasar tenaga kerja.
Putusan ini menjadi dasar bagi serikat buruh untuk kembali mendesak penghapusan outsourcing pada pekerjaan inti dan memperjuangkan sistem kerja yang manusiawi.
Praktik outsourcing memang lahir dari logika efisiensi kapitalisme. Namun dalam konteks Indonesia, sistem ini berkembang menjadi instrumen eksploitasi yang merugikan pekerja, terutama kelas bawah yang bergantung pada pekerjaan informal dan tidak memiliki daya tawar kuat.
Tidak semua praktik outsourcing buruk. Di negara-negara yang memiliki sistem perlindungan buruh yang kuat dan pengawasan ketat, outsourcing tetap bisa dilakukan tanpa merugikan pekerja. Namun di Indonesia, lemahnya penegakan hukum ketenagakerjaan menjadikan outsourcing sebagai celah besar yang dimanfaatkan oleh oknum pengusaha.
Dalam menghadapi tantangan zaman, negara dituntut untuk menyeimbangkan antara kebutuhan investasi dan perlindungan buruh. Tanpa perlindungan hukum yang memadai, outsourcing hanya akan memperpanjang rantai kemiskinan dan ketidakadilan struktural dalam dunia kerja.
Dan kini, diskursus tentang outsourcing bukan hanya soal legalitas atau efisiensi, tapi juga soal moralitas dan keadilan sosial. Apakah negara akan terus membiarkan pekerja hidup dalam ketidakpastian, ataukah mengambil langkah untuk memperbaiki sistem dan memastikan semua buruh bekerja dalam kondisi yang manusiawi?
Jawaban atas pertanyaan itu tidak hanya terletak di tangan pemerintah, tetapi juga di pundak seluruh elemen bangsa, yaitu serikat buruh, pengusaha, akademisi, dan masyarakat sipil. Karena pada akhirnya, kerja yang layak adalah hak dasar setiap manusia.