Karawang, KPonline – Sudah diketahui bersama bahwa Perjuangan buruh di Koordinasikan dengan bentuk Perjuangan Organisasi Perburuhan itu sendiri. Perjuangan dan pergerakan dari dulu sudah ada, sudah di buktikan oleh Aktivis buruh terdahulu yang mendahului kita. Selasa,17/03/2020.
Inilah Sejarah Perjuangan dan pergerakan Buruh di Indonesia sampai saat ini.
Organisasi Perburuhan di Indonesia berdiri sejak Zaman Kemerdekaan
Di Indonesia, khususnya jelang dan setelah Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945, Serikat Buruh menjadi Organisasi Sosial yang penting karena keterlibatan mereka di dalam perjuangan kemerdekaan dan mempertahankannya. Ini mendorong lahirnya berbagai undang-undang dan peraturan yang amat melindungi buruh justru ketika Indonesia belum sepenuhnya merdeka, seperti UU No. 33/1947 tentang Kecelakaan Kerja yang merupakan Undang-undang pertama hasil karya pemerintah Indonesia, disusul dengan UU No. 12/1948 tentang Kerja yang berisi berbagai ketentuan yang amat maju pada masanya untuk perlindungan buruh, seperti waktu kerja delapan jam sehari, hak cuti haid bagi buruh perempuan dan lain-lain.
Zaman Penjajahan
Serikat Buruh pertama di Jawa dibentuk pada 1905 dalam Perusahaan Kereta Api, tetapi serikat buruh ini dan Serikat – serikat buruh lainnya berada dibawah kendali Eropa dan hanya merekrut sejumlah kecil buruh Pribumi. Serikat Buruh mulai banyak terbentuk dan meluas pada tahun 1910an segera setelah Perang Dunia ke I (Satu) ketika Serikat – serikat buruh tersebut melakukan Gelombang pemogokan yang berkesinambungan dan cukup berhasil sampai 1921.
Zaman Kemerdekaan
Di Indonesia, khususnya jelang dan setelah Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945, Serikat Buruh menjadi Organisasi Sosial yang penting karena keterlibatan mereka di dalam perjuangan kemerdekaan dan mempertahankannya. Ini mendorong lahirnya berbagai Undang – undang dan peraturan yang amat melindungi buruh justru ketika Indonesia belum sepenuhnya merdeka, seperti UU No. 33/1947 tentang Kecelakaan Kerja yang merupakan Undang – undang pertama hasil karya pemerintah Indonesia, disusul dengan UU No. 12/1948 tentang Kerja yang berisi berbagai ketentuan yang amat maju pada masanya untuk perlindungan buruh, seperti waktu kerja delapan jam sehari, hak cuti haid bagi buruh perempuan dan lain-lain.
Kecenderungan Undang – undang protektif ini berlanjut terus hingga tahun 1950an dengan lahirnya beberapa Undang – undang lain yang senada. Seperti UU No 21/1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan yang berisi jaminan untuk hak berunding secara kolektif bagi serikat buruh. Juga UU No. 22/1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yang mengkanalisasi perselisihan ke lembaga semi – pengadilan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan ; Termasuk di dalam UU ini adalah larangan Pemutusan Hubungan Kerja tanpa izin terlebih dahulu dari Negara ; dan sebagainya.
Di sisi lain, pada masa orde lama Pemimpin Buruh Indonesia telah diperhitungkan dalam kancah internasional karena jadi pelaku utama yang melahirkan wadah Serikat Buruh Internasional. Serikat Buruh Sarbumusi dan Gasbindo ikut mendirikan Konfederasi Buruh Independen Dunia (ICFTU), Sementara SOBSI ikut mendirikan wadah Serikat Buruh Sosialis (WFTU).
Zaman Orde Baru
Hingga kemudian lahir Orde Baru pada tahun 1965 di bawah Jenderal Soeharto, yang mengambil alih kekuasaan dengan terutama menghancurkan seluruh gerakan progresif termasuk gerakan buruh yang dilumpuhkan dengan tuduhan keterlibatan pada percobaan kudeta yang diklaim dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan Gerakan 30 September (G30S), yang memberi legitimasi tentara mengambil alih kekuasaan dengan menghancurkan berbagai Organisasi Pendukung PKI dan khususnya Organisasi Buruh yang
tergabung di bawah Sentral Organisasi Buruh Indonesia (SOBSI).
Penghancuran Gerakan Buruh ini tidak hanya dialami oleh Organisasi buruh di bawah PKI, tetapi semua Organisasi Buruh yang ada pada waktu itu. Sehingga, dengan demikian, Orde Baru pun lahir dan berkembang dengan penghilangan secara sistematis sebuah kekuatan pengimbang dari organisasi sosial dengan tuntutan kesejahteraan dan keadilan sosial seperti Serikat Buruh, yang selama lebih 30 tahun berada dalam kontrol ketat Negara tanpa peluang menjadi kekuatan pengimbang yang sesungguhnya.
Cukup percaya diri dengan kekuatannya, Orde Baru mempertahankan, atau lebih tepatnya tidak menaruh peduli, Undang – undang yang protektif tadi selama era kekuasaannya yang otoriter, namun juga tidak melaksanakannya. Inilah yang dulu disebut sebagai “Policy of law non-enforcement”, atau kebijakan untuk tidak menegakkan hukum. Serikat buruh dan gerakannya pun secara sistematis dibungkam, yang menghasilkan posisi tawar buruh yang amat lemah di tingkat perusahaan apalagi untuk mempengaruhi kebijakan dan pembentukan kebijakan ekonomi yang lebih berkeadilan di negeri ini. Satu-satunya serikat buruh yang dibolehkan ada hanyalah SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia), yang praktis hanya menjadi stempel dari kebijakan Pemerintah Orde Baru pada waktu itu.
Zaman Reformasi
Barulah setelah Reformasi yang menjatuhkan kekuasaan Orde Baru tahun 1998, mulai terjadi perubahan dengan khususnya Relaksasi Prosedur Pembentukan Serikat Buruh. Begitu mulai berkuasa, Presiden Habibie yang menggantikan Presiden Soeharto meratifikasi Konvensi ILO No. 87 menjamin Hak untuk Berserikat bagi buruh. Konvensi ini melengkapi Konvensi No.98 tentang Perundingan Kolektif yang sudah diratifikasi sejak tahun 1950an. Sebelumnya Menteri Tenaga Kerja Fahmi Idris pun mengeluarkan sebuah Peraturan Menteri Tenaga Kerja yang mewajibkan agar seluruh serikat buruh yang ada, termasuk SPSI, untuk mendaftar ulang. Ini memungkinkan hadirnya Serikat – serikat baru yang marak bermunculan setelahnya, baik yang merupakan pecahan dari SPSI maupun yang betul-betul baru dibentuk pasca-reformasi.
Kebijakan ini kemudian dikuatkan dengan disahkannya UU No. 21/2000 tentang Serikat Pekerja / Serikat Buruh, yang menjadi dasar hukum untuk berkembang dan berfungsinya serikat buruh yang independen dan gerakan yang mereka lakukan kemudian. Undang – undang ini merupakan satu paket dengan UU No. 13 / 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menjadi sumber hukum material, dan UU No. 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yang menjadi sumber hukum formil penyelesaian perselisihan perburuhan.
Bagi Indonesia, dengan disahkannya UU No. 21 tahun 2000, inilah pertama kalinya ada undang – undang yang merupakan pengakuan secara tegas keberadaan dan hak hukum serikat buruh, setelah lebih tiga puluh tahun gerakan serikat buruh dijinakkan dan dikontrol di bawah konsep dan praktek korporatisme Negara. Meski Undang – undang tersebut memuat ketentuan – ketentuan yang menjadi dasar bagi berkembangnya serikat buruh di negeri ini, posisi mereka secara umum masih amat lemah. Pengakuan Negara mengenai keberadaan mereka tidak lantas berarti pengakuan dari pengusaha, yang dikombinasikan dengan lemahnya penegakan hukum yang aktif dari pemerintah dan ketidakpedulian pengusaha yang tidak melihat baik konsekuensi negatif maupun positif untuk mengakui keberadaan serikat buruh itu. Ditambah lagi oleh konflik dan fragmentasi di antara serikat buruh sendiri yang masih amat problematis dan menghambat perkembangan dari posisi serikat buruh yang lebih kuat di masyarakat.
Penghancuran gerakan buruh ini tidak hanya dialami oleh organisasi buruh di bawah PKI, tetapi semua organisasi buruh yang ada pada waktu itu. Sehingga, dengan demikian, Orde Baru pun lahir dan berkembang dengan penghilangan secara sistematis sebuah kekuatan pengimbang dari organisasi sosial dengan tuntutan kesejahteraan dan keadilan sosial seperti serikat buruh, yang selama lebih 30 tahun berada dalam kontrol ketat Negara tanpa peluang menjadi kekuatan pengimbang yang sesungguhnya.
Cukup percaya diri dengan kekuatannya, Orde Baru mempertahankan, atau lebih tepatnya tidak menaruh peduli, undang – undang yang protektif tadi selama era kekuasaannya yang otoriter, namun juga tidak melaksanakannya. Inilah yang dulu disebut sebagai “Policy of law non-enforcement”, atau kebijakan untuk tidak menegakkan hukum. Serikat buruh dan gerakannya pun secara sistematis dibungkam, yang menghasilkan posisi tawar buruh yang amat lemah di tingkat perusahaan apalagi untuk mempengaruhi kebijakan dan pembentukan kebijakan ekonomi yang lebih berkeadilan di negeri ini. Satu-satunya serikat buruh yang dibolehkan ada hanyalah SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia), yang praktis hanya menjadi stempel dari kebijakan Pemerintah Orde Baru pada waktu itu.
FSPMI di deklarasikan pada saat dilaksanakannya MUNAS (Musyarawah Nasional) Luar Biasa SP LEM SPSI Reformasi pada tanggal 4 sampai dengan 7 Februari 1999 di Hotel Tirta Gangga, Garut – Jawa Barat, yang diprakarsai oleh (Alm) H. R .Endang Thamrin, (Alm) Drs H. Thamrin Mosii dan Makmur Komarudin .
Kongres ke I
Pada tanggal 6 Februari 1999, di dirikanlah SPMI dengan dipilihnya Drs.H.Thamrin Mosii sebagai Presiden dan (Alm ) R. H. Endang Thamrin sebagai Sekretaris Jendral untuk periode 1999 sampai 2001.
Ketika itu, SPMI beranggotakan para pekerja di sektor industri metal yaitu Elektronik dan Elektrik; Automotive, Mesin dan Komponen; Logam; Dok dan Galangan Kapal, dan Dirgantara .
Kongres ke II.
Pada tanggal 28 Agustus sampai 1 September 2001, di Lembang dilaksanakan Kongres ke II SPMI dan dirubah bentuk organisasi dari unitaris SPMI menjadi Federasi yaitu FSPMI dengan tujuan memperkuat peran Serikat Pekerja Anggota yaitu SPEE, SPAMK, SPL, SPDG dan SPDI.
Hasil Kongres dipilih Drs. H. Thamrin Mosii sebagai Presiden dan Ir. H. Said Iqbal sebagai Sekretaris Jendral untuk periode 2001 sampai 2006 .
SPMI diterima sebagai anggota IMF (International Metal Workers Federation) pada Kongres IMF ke 30 yang dilaksanakan pada 11 sampai 15 November 2011 di Sydney Australia .
Kongres ke III :
Pada tanggal 24 sampai 27 November 2006 di Bandung dilaksanakan Kongres ke III FSPMI .
Hasil Kongres dipilih Ir. H. Said Iqbal sebagai Presiden dan Basril Hendrisman, Amd sebagai Sekretaris Jendral untuk periode 2006 sampai 2011 .
Rapat Pimpinan (Rapim) 6 November 2007 memutuskan perubahan logo FSPMI dan menjadikan FSPMI menjadi serikat pekerja yang berjuang di pabrik dan publik .
Ditetapkan juga Platform FSPMI yang dikenal dengan 9 Program Umum, 5 Pilar Pendukung, 10 Strategi Perjuangan dan 6 Issue Utama .
Kongres ke IV.
Pada tanggal 6 sampai 8 Februari 2011 di Bandung dilaksanakan Kongres ke IV FSPMI .
Hasil Kongres dipilih Ir. H. Said Iqbal sebagai Presiden dan Suparno Beno sebagai Sekretaris Jendral untuk periode 2011 sampai 2016 .
Secara resmi Serikat Pekerja Aneka Industri SPAI-FSPMI dideklarasikan dan bergabung di FSPMI .
Untuk SPDG pada Munasnya juga memutuskan untuk merubah nama menjadi Serikat Pekerja Pelayaran dan Jasa Maritim disingkat SP PJM .
FSPMI tersebar di : Provinsi Nangro Aceh Darrusalam, Sumatra Utara, Kepulauan Riau, Lampung, Banten, DKI, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Gorontalo dan Sulawesi Utara, serta tersebar di 36 Kabupaten / Kota.
Dengan kini Tempat kerja kami bergabung dengan FSPMI banyak sekali manfaat yang kami dapatkan selain ilmu perburuhan kami dapati juga ilmu kemasyarakatan yakni Jamkeswatch, yang mana berguna bagi saya serta masyarakat yang memerlukan advokasi perihal kendala layanan BPJS Kesehatan.
(S.Haryadi)