Omnibus Law: Buah dari Pengkhianatan, Kemunafikan, dan Keserakahan

Penolakan terhadap omnibus law UU Cipta Kerja bukan sekedar euforia. Bukan karena banyak yang menolak, kemudian kita ikut-ikutan menolak. Kita menolak karena merasakan betul betapa buruknya dampak yang ditimbulkan dari keberadaan beleid ini.

Kalian mungkin akan bertanya. Makhluk sejenis apa omnibus law, sehingga kelas pekerja ingin menghancurkannya? Saya kasih tahu, ia adalah yang terburuk dari apa yang kalian anggap buruk. Buah dari pengkhianatan, kemunafikan, dan keserakahan.

Barangkali itu terlihat berlebihan. Tetapi begitulah. Tidak ada kata yang lebih tepat untuk menggambarkan betapa ‘brengsek-nya’ ia sebagai regulasi.

Satu hal yang pasti, sudah banyak korban yang berjatuhan. Mereka yang dengan mudah dipecat dengan pesangon yang murah. Mereka yang dikontrak berulangkali tanpa ada pengangkatan. Mereka yang dirampas dan diusir dari tanah kelahirannya atas nama pembangunan.

Karenanya, wajar jika kemudian kita mengungkapkan keprihatinan yang mendalam dan kekecewaan atas dikukuhkannya Undang-Undang Cipta Kerja oleh MK. Di sama-sama kita ketahui, MK menolak uji formil atas undang-undang ini.

Sebagai warga negara yang peduli akan masa depan Indonesia, kita merasa perlu untuk menyatakan penolakan. Betapa buruknya dampak undang-undang ini terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Setiap undang-undang yang lahir, harusnya berkontribusi atas kesejahteraan seluruh rakyat. Bukan hanya mengutamakan kepentingan elit dan pejabat. Ia harus mempertimbangkan berbagai dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan. Omnibus Law UU Cipta Kerja, dalam pandangan saya, tidak memenuhi standar ini.

Untuk itu, sudah selayaknya pemerintah mendengarkan keprihatinan kelas pekerja. Mendukung hak kelas pekerja, perlindungan lingkungan, dan hak asasi manusia. Dengan demikian, kita dapat mencapai perubahan yang positif dan berkelanjutan demi kebaikan bersama.

Semoga bisa ada tindakan yang cepat dan tepat untuk mengatasi permasalahan ini.