Pelalawan, KPonline-Malam itu warung kopi Pak Darma penuh seperti biasa. Bangku kayu panjang sudah terisi, dan meja-meja kecil di sudut penuh dengan cangkir kopi hitam dan sisa gorengan. Di salah satu sudut, Ardi, Budi, Dedi, dan Farid duduk melingkar, berbincang serius. Malam ini bukan tentang sepak bola atau gosip kampung—mereka sedang membicarakan nasib buruh dan serikat.
“Aku udah kerja 10 tahun di pabrik itu, gaji cuma naik 100 ribu. Sementara kerjaanku makin berat. Rasanya kayak diisep tenaga kita pelan-pelan,” kata Ardi sambil mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya, “kamu tahu kan, mereka janji kasih kenaikan kalau target tercapai? Tapi pas target terpenuhi, alasan perusahaan selalu sama: nggak ada anggaran”.
Budi mengangguk sambil menghisap rokoknya, “iya, Di. Sama kayak di tempatku. Kita ini cuma angka di laporan. Tapi coba lihat bosnya, tiap tahun bikin rumah baru, beli mobil mewah. Ini bukan lagi soal keadilan, tapi eksploitasi terang-terangan”.
Dedi, yang dikenal paling berapi-api soal isu buruh, mengepalkan tangan, “makanya kita perlu serikat yang kuat! Kalau nggak, suara kita cuma bakal tenggelam. Tapi aku lihat sendiri, banyak buruh yang takut gabung serikat. Mereka pikir kalau gabung, langsung dipecat. Padahal tanpa serikat, kita cuma bisa pasrah! “.
Farid, yang bekerja sebagai supervisor, menggeleng pelan, “aku ngerti frustrasi kalian. Tapi dari sisi manajemen, serikat itu sering bikin pusing. Kalau ada tuntutan, produksi jadi macet, target nggak tercapai. Kadang, yang demo juga nggak ngerti situasi perusahaan”.
Ardi langsung menatap tajam ke arah Farid, “situasi perusahaan? Kamu tahu nggak, Rid, kalau serikat itu bukan musuh? Kita cuma minta hak kita dipenuhi. Gaji layak, tunjangan jelas, dan jam kerja manusiawi. Kalau perusahaan rugi beneran, kita pasti ngerti. Tapi yang rugi cuma laporan, pemiliknya tetap kaya. Jangan bilang kamu nggak lihat itu”.
Budi menyela dengan nada lebih tenang, “aku setuju sama Ardi!, serikat itu penting, tapi kita juga perlu lebih solid. Masalahnya banyak buruh masih terpecah, sibuk mikirin diri sendiri. Harusnya kita belajar dari serikat di negara-negara lain, yang benar-benar jadi kekuatan buat melawan ketidakadilan”.
Malam makin larut, tapi obrolan di meja itu semakin dalam. Warung kopi Pak Darma seolah jadi tempat diskusi serius yang tak kenal waktu, “Besok demo, aku bakal ikut. Bukan cuma buat aku, tapi buat semua buruh yang selama ini diam karena takut”, kata Ardi dan yang lain mengangguk setuju. Mereka tahu, perjuangan tidak mudah, tapi dari warung kopi kecil itu, semangat untuk melawan ketidakadilan mulai menyala.
Penulis: Heri
Foto: cari Google