Narasi Politik, Politik Narasi: Kisah Cinta Sang Penguasa

Narasi Politik, Politik Narasi: Kisah Cinta Sang Penguasa

Jakarta, KPonline – Saya sudah melihat foto yang viral ini sejak beberapa hari yang lalu. Namun demikian, sejauh itu, sikap saya biasa-biasa saja. Sebuah foto yang tidak terlalu istimewa.

Hingga akhirnya, saya membaca tulisan Fahd Pahdepie berjudul “Narasi Politik, Politik Narasi” di halaman facebooknya.

Sebagai sebuah drama dalam hidup manusia, kata Fahd, politik adalah kompetisi untuk memenangkan hati publik.

Dia kemudian memberikan contoh yang apik. Jika Anda harus meyakinkan 1000 orang untuk memilih Anda, dan di antara 1000 orang itu terdapat 50 orang profesor dan 950 orang tukang becak, Anda tak perlu repot-repot membangun teori untuk meyakinkan 50 orang berintelektual tinggi itu.

Cukuplah Anda duduk bersama 950 orang tukang becak dan meyakinkan mereka dengan cerita Anda. Sebab seandainya pun Anda berhasil mendapatkan keseluruhan dukungan dari orang-orang pandai, Anda akan tetap kalah jumlah oleh kelompok pemilih yang sama sekali tidak membutuhkan argumen yang hebat-hebat itu.

Di bawah ini saya sertakan tulisan Fahd Pahdepie. Agar kalian memahami, bagaimana sebuah persepsi politik dibangun.

* * *

Dua foto viral di media sosial di tanggal yang sama. Masing-masing foto Jokowi dan Iriana serta Prabowo dan Titiek Soeharto. Tafsir terhadap kedua foto itu bergerak liar—mengulik aneka cerita. Mulai dari kisah cinta Jokowi-Iriana yang hangat, hingga tragisnya biduk rumah tangga Prabowo-Titiek yang harus kandas karena fitnah.

Demikianlah, sebagai sebuah drama dalam hidup manusia, politik adalah kompetisi untuk memenangkan hati publik.

Para politisi boleh saja berlomba memperebutkan kursi-kursi empuk kekuasaan. Para akademisi sah belaka untuk berdebat dengan teori-teori hebat. Namun, selama cerita belum terbentuk, publik tak akan tergerak untuk berempati atau bersikap antipati.

Narasi yang bergulir di tengah publik selalu menjadi alasan utama untuk mendapatkan atau kehilangan kekuasaan. Cerita mana yang dipercaya dan meyakinkan pilihan adalah kuncinya. Maka, siapapun yang memenangkan pertarungan cerita, dialah kelak yang akan menjadi juaranya.

Apalagi dalam sistem politik demokrasi seperti di Indonesia. Di mana semua suara dihargai sama rata. Di balik bilik suara, suara satu orang profesor, sama nilainya dengan suara satu orang tukang becak.

Jika Anda harus meyakinkan 1000 orang untuk memilih Anda, dan di antara 1000 orang itu terdapat 50 orang profesor dan 950 orang tukang becak, Anda tak perlu repot-repot membangun teori untuk meyakinkan 50 orang berintelektual tinggi itu.

Cukuplah Anda duduk bersama 950 orang tukang becak dan meyakinkan mereka dengan cerita Anda. Sebab seandainya pun Anda berhasil mendapatkan keseluruhan dukungan dari orang-orang pandai, Anda akan tetap kalah jumlah oleh kelompok pemilih yang sama sekali tidak membutuhkan argumen yang hebat-hebat itu.

Hal ini terjadi dalam pilpres 2014 lalu. Di kalangan pemilih dengan latar belakang pendidikan tinggi, Prabowo-Hatta menang telak di atas 60%. Namun, di kalangan pemilih dengan pendidikan rendah, Prabowo kalah telak lebih dari 70%. Masalahnya, mayoritas masyarakat Indonesia masih berpendidikan SMP-SMA ke bawah!

Kini, pertarungan akan berulang. ‘Rematch’ antara Jokowi dan Prabowo akan masuk masa ujian sekali lagi. Pertanyaannya, siapa kali ini yang paling berhasil merancang dan mengendalikan cerita yang paling meyakinkan bagi mayoritas pemilih?

Orang sering salah kira bahwa pencitraan adalah hal yang membuat Jokowi menang di Pilgub DKI 2012 dan Pilpres 2014. Padahal, citra tak akan berbunyi apa-apa tanpa cerita. Sama persis seperti angka hasil survey atau data statistik yang tak ada gunanya tanpa narasi yang membuatnya berbunyi. Ceritalah yang membuat Jokowi menang, cerita yang sangat dekat dengan rakyat dan begitu meyakinkan mereka.

Apakah Anda pikir yang menggulingkan Ahok tempo hari adalah fakta dari potongan kata-katanya yang disangka menista agama? Sama sekali bukan. Yang menggulingkan Ahok dari puncak kekuasaan adalah cerita-cerita di seputar fakta itu, narasi yang membentuk metanarasinya sendiri—begitu kokoh, meyakinkan sekaligus menggerakkan.

Kini, menarik untuk kita tunggu pihak mana yang paling berhasil merancang dan menggerakkan cerita. Kita tunggu narasi apa yang akan dimainkan para juru cerita di balik Jokowi atau Prabowo. Semua strategi kampanye, logistik, atau apapun tak akan seru tanpa bumbu cerita di atasnya—tanpa juru cerita yang menguliknya.

Kembali melihat dua foto di atas, sebagai seorang pencerita, insting saya berbicara: Jokowi-Iriana memang punya kisah yang manis. Namun, Prabowo-Titiek punya potensi cerita yang lebih puitis, lebih manusiawi, penuh drama yang memilukan sekaligus akan membius jutaan hati—jika dimainkan dengan baik, tentu saja.

Cerita mana yang lebih Anda tunggu?

Cirebon, 18 Agustus 2018

FAHD PAHDEPIE