Naik Upah ‘ala’ Omnibus Dan UU 13/2003

Purwakarta, KPonline – saat itu, dengan pertimbangan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 97 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Presiden Joko Widodo pada tanggal 23 Oktober 2015 telah menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

Di PP itu disebutkan, bahwa kebijakan pengupahan diarahkan untuk pencapaian penghasilan dalam memenuhi penghidupan yang layak bagi Pekerja/Buruh.

Bacaan Lainnya

Penghasilan yang layak sebagaimana dimaksud merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan Pekerja/Buruh dari hasil pekerjaannya, sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup Pekerja/Buruh dan keluarganya secara wajar.

Adapun kebijakan pengupahan tersebut, salah satunya adalah upah minimum. Dan penetapan upah minimum dihitung dengan menggunakan formula perhitungan upah minimum, yaitu: UMn = UMt + {UMt x (Inflasit + % ∆ PDBt)}

UMn: Upah minimum yang akan ditetapkan

UMt: Upah minimum tahun berjalan

Inflasit: Inflasi yang dihitung dari inflasi September tahun lalu hingga September tahun berjalan

%? PDBt: Pertumbuhan Produk Domestik Bruto yang dihitung dari pertumbuhan Produk Domestik Bruto yang mencakup periode kuartal III dan IV tahun sebelumnya dan periode kuartal I dan II tahun berjalan.

Sebagai contoh misalkan di suatu Provinsi tahun ini menerapkan upah minimum pekerja/buruh Rp4,2 juta per bulan, dengan inflasi 3 persen dan pertumbuhan ekonomi 5 persen. Sehingga, besaran upah minimum tahun depan adalah Rp4,536 juta per bulan, mengalami kenaikan Rp336 ribu yang mana angka 336 ribu itu berasal dari inflasi 3 persen ditambah pertumbuhan ekonomi 5 persen dikali upah tahun berjalan Rp4,2 juta.

Namun, seiring berjalannya waktu, perbedaan rumusan kenaikan upah pun berubah dikala Jokowi menerbitkan Undang undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.

Melalui aturan turunannya, yaitu PP No. 36 Tahun 2021 tentang pengupahan, formula kenaikan upah ternyata mengalami degradasi yang pada ujungnya kelas pekerja pun melawan untuk menolak dengan mengajukan gugatan ke MK. Alhasil, UU Cipta Kerja pun dinyatakan Inkonstitusional bersyarat oleh MK.

Pasca Inkonstitusional bersyarat, Jokowi mengambil sikap dengan mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) yang selanjutnya menjadi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja, dimana isinya tidak berbeda dengan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja.

Dalam PP 36 Tahun 2021 tentang pengupahan, Penyesuaian upah minimum ditetapkan pada rentang nilai tertentu di antara batas atas dan batas bawah upah minimum pada wilayah yang bersangkutan.

#Pasal 26
Penyesuaian nilai upah minimum dilakukan setiap tahun (1). Kemudian, penyesuaian nilai upah minimum ditetapkan pada rentang nilai tertentu di antara batas atas dan batas bawah Upah minimum pada wilayah yang bersangkutan (2).

Batas atas upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan acuan nilai upah minimum tertinggi yang dapat ditetapkan dan dihitung menggunakan formula sebagai berikut:

Batas atas UM(t) = Rata ~ rata konsumsi per kapita(t) x Rata – rata banyaknya ART(t) ∕ Rata ~ rata banyaknya ART bekerja pada setiap rumah tangga(t).

Sesuai Pasal 26 ayat (3) PP 36 Pengupahan, spesifiknya adalah batas atas upah minimum merupakan acuan nilai upah minimum tertinggi yang dihitung menggunakan variabel rata-rata konsumsi perkapita dan rata-rata banyaknya Anggota Rumah Tangga (ART) yang bekerja pada setiap rumah tangga.

Sedangkan, batas bawah upah minimum merupakan acuan upah minimum terendah yang besarannya 50 persen dari batas atas upah minimum.

Kemudian, nilai batas atas dan batas bawah bersama variabel pertumbuhan ekonomi dan inflasi provinsi digunakan untuk menghitung formula penyesuaian nilai upah minimum.

Misalkan, rata-rata pengeluaran per kapita masyarakat di provinsi tersebut sebesar Rp2,5 juta per bulan. Sementara rata-rata banyak anggota rumah tangga (ART) sebanyak 4 orang dan rata-rata banyaknya ART yang bekerja di setiap rumah tangga sama dengan 1 orang.

Apabila mengikuti ketentuan diaturan baru, upah minimum pekerja/buruh di tahun berikutnya akan berada di antara batas atas dan bawah.

Batas atas berasal dari hasil kali rata-rata konsumsi per kapita sebesar Rp2,5 juta dengan rata-rata banyaknya ART sebanyak 4 orang, maka hasilnya Rp10 juta, lalu dibagi rata-rata banyaknya ART pada setiap rumah tangga sebanyak 1 orang sama dengan tetap Rp10 juta.

Dimana, kenaikannya dihitung dari angka maksimal dari pertumbuhan ekonomi atau inflasi provinsi, maka diambil 5 persen. Lalu, dikali dengan batas atas Rp10 juta dikurang upah tahun berjalan Rp4,2 juta dibagi batas atas Rp10 juta dikurang batas bawah Rp5 juta sama dengan 1,16.

Hasilnya, kenaikan sama dengan 5 persen dikali 1,16 dikali Rp4,2 juta, yaitu Rp243 ribu. Maka upah pekerja/buruh tahun berikutnya sebesar upah tahun berjalan Rp4,2 juta ditambah kenaikan Rp243 ribu sama dengan Rp4,443 juta.

Jika mengacu ketentuan PP 36, formula pengupahan ternyata tidak lebih baik dibandingkan dengan PP 78. Karena PP 36 menggunakan komponen pertumbuhan ekonomi atau inflasi, bukan total dari kedua indikator ekonomi seperti formula kenaikan upah di PP 78.

Dan itu bisa dilihat dan dibuktikan melalui contoh hitungan diatas yang sebelumnya menerima gaji atau upah sebesar Rp4,2 juta.

Menurut PP 78 nilai kenaikannya sebesar Rp336 ribu. Sedangkan bila menggunakan aturan turunan UU Cipta Kerja (Omnibuslaw), nilai kenaikan upahnya hanya sebesar Rp243 ribu.

Pos terkait