Menjadi Pendengar yang Baik

 

Oleh: Kahar S. Cahyono*

Seorang kawan mengirimkan pesan ke saya via WhastApp. Banyak pemimpin, katanya, hanya mau didengar. Tetapi tak bersedia mendengar.

Saya kira pernyataan itu ada benarnya. Meski harus diluruskan, tidak semua pemimpin berperilaku seperti itu. Bahkan, mereka yang tidak diberi label pemimpin pun, juga banyak yang maunya hanya didengar. Jadi ini bukan soal pemimpin atau bukan pemimpin.

Berapa banyak di antara kita yang betah duduk jenak dalam sebuah forum diskusi? Berapa banyak di antara kita yang mau mendengarkan dengan khidmat, tidak ngobrol sendiri atau keluar ruangan untuk merokok atau pura-pura ke kamar kecil ketika orang lain sedang berbicara?

Sikap tidak mau mendengar terjadi akibat banyak faktor. Merasa sudah tahu yang dibicarakan. Merasa sudah benar dan paling pintar. Bahkan ada yang tidak mau mendengar, karena, yang sedang berbicara dianggap anak kemarin sore yang tidak tahu apa-apa.

Setelah saling berbalas pesan dengan kawan yang tadi mengirimkan pesan, kami tiba pada satu kesimpulan. Bahwa menjadi pendengar yang baik, sama pentingnya dengan menjadi pembicara yang baik.

Mendengar bukan berarti menelan mentah-mentah apa yang sedang dibicarakan.

Mendengar berarti menangkap pesan dengan sepenuh kesadaran. Baik yang tersirat maupun tersurat. Bahkan yang tidak dikatakan.

Semakin tinggi posisi, mestinya kita semakin banyak mendengar. Sebab ada banyak orang yang berkepentingan menyampaikan informasi. Dan dari sekian banyak itu, harus diolah untuk menjadi keputusan.

Bayangkan kalau kita salah mendengar. Keputusan yang dihasilkan pun akan salah. Keputusan yang salah tidak hanya merugikan diri sendiri. Tetapi juga organisasi.

Realitanya, yang kita dengar bukan hanya puja-puji. Tetapi juga kritik tajam yang menyayat hati. Bahkan caci maki.

Dalam gerakan, mendengar caci maki ibarat menu sehari-hari. Apalagi jika yang kita hadapi adalah raksasa yang memiliki anggaran tak terbatas untuk membentuk opini.

Dalam kampanye boikot Indomaret yang saat ini sedang disuarakan FSPMI-KSPI, misalnya. Ada saja pihak yang menuduh FSPMI tak punya empati.

“Nanti kalau perusahaan sampai bangkrut karena tak ada yang membeli, yang rugi karyawannya sendiri,” katanya.

Jika kamu mendengar kritik seperti itu, siapkah mendengarkan dengan hati yang lapang? Atau malah emosional dan membalasnya dengan sumpah serapah?

Bisa saja apa yang kita dengar tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Tetapi jika kita mendengarkan dengan baik apa substansi yang sedang dibicarakan, kita bisa menanggapinya dengan jernih. Tetap fokus pada subsransi persoalan.

Dalam konteks berjuang, boikot sama saja dengan mogok. Bedanya, boikot adalah mogok untuk tidak berbelanja. Ketika pemogokan dilakukan, produksi tidak berjalan, perusahaan pun mengalami kerugian.

Kalau tidak mau rugi, mudah saja. Penuhi apa yang menjadi tuntutan kaum buruh. Se-simple itu duduk perkaranya.

 

*Kahar S. Cahyono

Vice President FSPMI/Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI