Mengisi Kembali Kepekaan Sosial

Bogor, KPonline – Jika kekuatan baterai telepon seluler atau telepon pintar kita sudah mulai berkurang, dan biasanya akan ada notifikasi bunyi yang mengingatkan hal tersebut, maka secara naluriah kita akan segera mengambil alat pengisian portable, lalu clingak-clinguk mencari stop kontak listrik atau sering kita menyebutnya colokan listrik.

Tidak hanya telepon seluler yang baterainya bisa habis. Keimanan (dalam konteks apa saja) pun, bisa saja habis jika tidak pernah “di-charge”. Jarang mendapatkan siraman rohani, jarang atau bahkan hampir tidak pernah mendapatkan pencerahan. Kepekaan sosial pun bisa saja luntur, tergerus dengan kesibukan duniawi yang secara terus menerus mengalihkan perhatian kita kepada hal-hal yang lain.

Dalam kepemimpinan, baik di organisasi serikat buruh atau serikat pekerja, atau apa pun itu organisasinya, kepekaan sosial menjadi sebuah landasan penting dalam menjalin hubungan sosial antara pemimpin dengan orang-orang yang dipimpinnya. Silaturahmi bisa menjadi salah satu jembatan dalam mewujudkan hal tersebut. Dan tentu saja, bentuknya bisa bermacam-macam. Dan kepekaan sosial bisa dikatakan, merupakan salah satu syarat penting dalam memimpin sebuah organisasi.

Seperti yang diungkapkan oleh Obon Tabroni melalui akun Facebook pribadinya, ada beberapa hal yang perlu dilakukan dalam mengasah kepekaan sosial. “Kepekaan sosial bisa tumpul, karena ada beberapa hal yang secara kontinyu dilakukan pemimpin tersebut. Seperti tingkat keimanan, tingkat kepekaan sosial itu pun bisa turun naik. Dan seringkali faktor penyebab turun naiknya tingkat kepekaan sosial, dikarenakan dari internal pribadi pemimpin tersebut,” tulis Obon dalam akun Facebooknya beberapa hari yang lalu.

Hal-hal yang bisa menumpulkan kepekaan sosial diantaranya adalah :

1. Terlalu sering bergaul dengan kaum elite.

2. Jarang dan hampir tidak pernah turun ke bawah.

3. Terlalu asyik sendiri dengan dunianya. 4. Terlalu menikmati zona nyaman.

Obon pun sedikit membocorkan, bagaimana caranya agar tingkat kepekaan sosial tersebut, dapat diisi kembali, ditingkatkan kembali, agar orang-orang yang dipimpin selalu merasa dekat. “Salah satu cara mengisi kembali tingkat kepekaan sosial bagi seorang pemimpin adalah dengan mendatangi tempat-tempat yang memiliki banyak masalah, atau sedang terjadi masalah. Dengarkan keluh kesah mereka. Mereka mengadukan masalah apapun, dengarkan. Dan akan lebih baik lagi, jika kita berusaha membantu orang-orang tersebut,” imbuh Obon.

Alamiah dan naluriah, itulah dua hal yang dimiliki oleh setiap mahluk hidup. Secara alamiah akan berubah seiring perjalanan waktu dan terus mencoba beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Dimulai dari dasar, dari permulaan, hingga menemukan bentuknya yang sempurna. Dan secara naluriah, setiap mahluk hidup akan mencoba hal-hal yang baru, termasuk dalam kelangsungan hidup dan pertahanan dirinya. Karena sifat naluriah, sejatinya melekat pada setiap mahluk hidup.

Secara alamiah, sikap-sikap kepemimpinan seorang pemimpin akan terus diuji. Seiring waktu dan perjalanan hidup, ujian akan terus ada. Seleksi alam bisa dikatakan seperti itu. Dan secara naluriah, seorang pemimpin akan berusaha menciptakan cara-cara baru, hal-hal yang baru, dalam meningkatkan kepekaan sosial tersebut. Dan tentu saja, dalam cara pandang yang positif, kepekaan sosial terhadap persoalan-persoalan sosial harus terus diasah. Agar tidak tumpul, berkarat, atau hanya sekedar slogan belaka. (RDW)