Membudayakan Rapat Akbar

Jakarta, KPonline – Bagi gerakan sosial, seperti serikat pekerja, kemampuan dalam memobilisasi massa menjadi salah satu tolak ukur kekuatan. Dalam kaitan dengan itu, rapat akbar merupakan aktivitas yang tak boleh ditinggalkan.

Rapat akbar adalah salah satu cara untuk memobilisasi massa, menyatukan kekuatan untuk mempertegas tuntutan, sekaligus untuk mendidik massa. Ia bukan saja untuk mempengaruhi eksternal, tetapi juga mengkonsolidasikan kekuatan internal. Bukan saja mengkonsolidasikan kekuatan, tetapi juga menumbuhkan harapan.

Dengan melibatkan anggota dalam jumlah besar, akan tumbuh kesadaran kolektif bahwa perjuangan ini adalah tanggungjawab bersama. Karena ia menjadi tanggungjawab bersama, maka maju-mundurnya organisasi terkait erat dengan seberapa besar partisipasi dari seluruh elemen yang ada di dalamnya.

Platform FSPMI dikenal dengan sebutan 9-5-10-6. Maksudnya adalah, 9 Program Umum, 5 Pilar Pendukung, 10 Strategi Perjuangan, dan 6 Issue Utama. Satu diantara 10 strategi utama itu adalah rapat umum (baca: rapat akbar). Termasuk di dalamnya mogok kerja dan unjuk rasa/demonstrasi.

Salah satu rapat akbar yang diselenggarakan FSPMI Bekasi.

Karena itu, saya rasa tidak ada alasan bagi kita untuk menabukan rapat umum. Kita tahu, di luar sana sedang marak propaganda mengenai “dialog sosial”. Hingga kemudian sebagian orang beranggapan, ibarat senjata pamungkas, semakin sering melakukan aksi maka kesaktiannya akan hilang.

Kalimat itu terdengar seperti nada putus asa. Sebab, memang, aksi bukan senjata pamungkas. Ia bukan akhir. Tetapi hanya satu mata rantai dari rangkaian strategi. Ia bukan memang satu-satunya cara, tetapi jika itu dihilangkan, maka rantai itu akan terputus.

Semakin sering tidak dilatih (digunakan), maka ia akan tumpul. Lihat saja betapa rapuhnya mereka yang tidak menjadikan rapat akbar sebagai dinamika dalam pergerakan.

Seperti maknanya, rapat adalah sangat dekat dan tidak ada jarak. Semakin aktivitas ini dihindari, yang terjadi justru semakin menjauh. Yang artinya semakin jauh pula dari cita-cita.

Pentingnya melibatkan sebanyak mungkin anggota untuk berpartisipasi mewujudkan cita-cita organisasi.

Belajar Dari Sejarah

Jika kita membaca sejarah, rapat akbar bukan hal baru dalam perjuangan rakyat Indonesia.

Sarekat Islam (SI) merupakan salah satu organisasi yang menerapkan metode ini. Pertamakali mereka mengadakan rapat akbar di Surabaya, tahun 1913. Hasilnya, bukan saja anggota yang meningkat pesat. Tetapi pengaruh organisasi juga semakin kuat.

Rapat umum di lapangan Ikada adalah contoh lain. Rapat ini diselenggarakan menunjukkan kebulatan tekad rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan.

Pada tanggal 19 September 1945 pagi, massa dari berbagai tempat di Jakarta dan luar Jakarta mulai berdatangan ke lapangan Ikada. Berpuluh-puluh gerbong kereta api datang dari jurusan Cikampek, Bogor, Tangerang, dan lain-lain membawa massa rakyat ke lapangan Ikada. Malahan ada yang datang dari Cirebon, Tegal, Banten, dan Bandung. Ikada berubah menjadi lautan manusia.

Di serikat, hal seperti ini bukan sekali dua kali kita lakukan. Saya kira, metode ini harus diluaskan. Katakanlah saat ini FSPMI ada di 25 provinsi dan lebih dari 200 kab/kota. Maka masing-masing daerah harus mulai mengimplementasikan metode ini dengan rutin.

Saya mencatat, daerah-daerah yang membiasakan rapat akbar, jumlah anggotanya bertambah dan soliditas organisasinya menguat. Sebaliknya, semakin metode ini ditinggalkan, auranya semakin pudar.

Catatan Ketenagakerjaan: 2 Ramadhan 1439 H