Meluruskan Salah Paham Kontrak Politik Anies – Sandi dan Jatah Menteri (Menanggapi Tulisan Ninanoor di Seword.com)

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Ketua DPW FSPMI DKI Jakarta Winarso sedang memberikan keterakan kepada wartawan. | Kahar S. Cahyono

Jakarta, KPonline – Dalam artikelnya berjudul ‘Blak-Blakan Agenda Politik Demo Buruh “May Day”: Deklarasi Capres Dan Minta Jatah Menteri‘ yang diterbitkan Seword.com Ninanoor mengkritisi sikap politik Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Menurut Nina, sikap politik itu justru akan memperlemah kekuatan serikat buruh.

Pendapat Ninanoor tidak tepat. Sebaliknya, dengan terlibat dalam perjuangan sosial – politik, justru akan memperkuat gerakan buruh. Apalagi hampir semua aspek ketenagakerjaan tidak bisa dilepaskan dari kebijakn politik.

Kontrak Politik Buruh dengan Anies – Sandi

Ninanoo menulis, “Mengenai kontrak politik, KSPI sudah pernah melakukan hal itu saat mendukung pasangan Anies Baswedan – Sandiaga Uno dalam pilgub DKI Jakarta 2017. Namun, kontrak politik tersebut berujung pada kekecewaan, lantaran penetapan Upah Minimum DKI Jakarta oleh Anies – Sandiaga tidak sesuai dengan permintaan mereka, yaitu di atas ketentuan pemerintah yang tercantum di dalam Peraturan Pemerintah nomor 78 Tahun 2015.”

Terkait dengan apa yang dilakukan oleh Anies Baswedan – Sandiaga Uno yang tidak menjalankan salah satu isi kontrak politik, KSPI bereaksi keras. Bahkan melakukan aksi besar-besaran untuk mengkritisi kebijakan tersebut. Hal ini menandakan bahwa dukungan politik yang dilakukan KSPI murni untuk kepentingan kaum buruh. Apabila kebijakan yang dibuat tidak berpihak kepada kaum buruh, KSPI tidak segan-segan akan bergerak.

KSPI bukan type organisasi yang hanya asal bapak senang, yang membenarkan apa pun kebijakan pemerintah. Jika kebijakan tersebut sesuai dengan aspirasi kaum buruh, tentu akan didukung. Jika salah, tentu harus dikritisi.

Satu hal yang tidak diulas oleh Ninanoor, mengapa Anies – Sandi tidak menetapkan upah minimum DKI Jakarta di atas Peraturan Pemerintah nomor 78 Tahun 2015 (PP 78/2015)? Karena ada sanksi bagi kepala daerah yang menetapkan upah minimum tidak sesuai dengan PP 78/2015, yang notabene dibuat oleh Pemerintahan Joko Widodo.

Bukan bermaksud untuk selalu menyalahkan Presiden Joko Widodo. Seandainya tidak terbit PP 78/2015, niscaya kenaikan upah minimum tidak hanya dibatasi berdasarkan nilai inflansi dan pertumbuhan ekonomi. Itulah sebabnya, KSPI dan serikat buruh yang lain mengkritik kebijakan PP 78/2015.

Hal lain yang perlu dicatat, perihal upah minimum hanyalah satu dari sepuluh komitmen Anies – Sandi terhadap kaum buruh. Sejauh ini, untuk isu-isu yang lain, komitmen Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta ini bisa dipegang. Mengapa upah belum? Kesimpulan KSPI, karena ada PP 78/2015.

Perihal Menteri dari Buruh

Selain itu, KSPI juga meminta posisi menteri untuk perwakilan buruh sebagai imbalan atas dukungannya terhadap capres yang akan mereka dukung. “Kita minta ditempatkan sebagai menteri. Saya tidak malu mengatakan ini. Daripada pura-pura, minta di belakang,”  tulis Ninanoor.

Benar, Said Iqbal memang mengatakan hal itu. Tetapi harus dilihat secara utuh, apa maksud dari pernyataan tersebut.

Hal pertama yang harus dipahami, salah satu syarat bagi Capres untuk didukung KSPI adalah bersedia menandatangani kontrak politik. Isinya adalah 10 (sepuluh) tuntutan buruh dan rakyat. Hal ini, untuk menguji apakah Capres yang bersangkutan memiliki komitment terhadap isu-isu buruh.

Belajar dari kontrak politik Anies – Sandi, dibutuhkan ‘penjaga’ agar kontrak politik bisa direalisasikan. Dalam konteks Provinsi, ‘penjaga’ tersebut adalah Kepala Dinas Tenaga Kerja. Sehingga hal-hal teknis yang bersifat implementasi, bisa dijalankan dengan baik. Sayangnya, tidak mungkin Kepala Dinas diisi oleh perwakilan buruh.

Berbeda dengan Menteri. Apabila Menteri Ketenagakerjaan berasal dari buruh, maka tugas Menteri tersebut adalah mengimplementasikan secara teknis apa yang tertuang dalam kontrak politik. Dengan demikian, kebijakan Pemerintah dan aspirasi kaum buruh akan berada dalam frekwensi yang sama. Nyambung.

Jabatan menteri bukan tujuan. Ia adalah alat untuk memastikan adanya kebijakan yang berpihak pada kaum buruh.

Menyoal Demonstrasi Buruh

Saya sependapat dengan Ninanoor, ketika saat ia mengatakan, “Jika para buruh berdemonstrasi untuk meminta kenaikan upah buruh, atau menghentikan sistem outsourcing, saya masih paham. Karena sesuai dengan hakekat dan permasalahannya. Itu adalah hak para buruh untuk meminta kenaikan upah.”

Banyak orang di luar sana yang masih salah paham dengan demonstrasi kaum buruh. Keren sekali ketika Nina bisa memahaminya. Semoga dengan penjelasan ini, Nina juga bisa memahami jika akhirnya serikat buruh juga menyuarakan politik. Dalam bukunya, ‘Gagasan Besar Serikat Buruh’, Said Iqbal menguraikan panjang lebar terkait sikap politik serikat buruh.

Sesuai dengan konstitusi, hak setiap warga negara adalah mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak untuk kemanusiaan. Dikarenakan penghidupan yang layak adalah hak warga negara, maka kewajiban negara untuk mewujudkannya. Dengan demikian tugas Pemerintah bukan untuk mengambil jalan tengah sebagaimana yang dikatakan Nina. Pemerintah harus berpihak — pada rakyat.

Berbicara tentang kesejahteraan, sejatinya kita berbicara tentang politik.

Sampai-sampai Bertolt Bracht mengatakan, “Buta yang terburuk adalah buta politik, dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir semua pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional.”

Oleh karena itu, sudah sangat tepat jika buruh tidak apolitik. Justru dengan pemahaman politik yang baik, serikat buruh akan semakin kuat. Apalagi jika ia berhasil memasukkan agenda perjuangannya menjadi kebijakan politik yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.

Tidak tepat jika serikat buruh secara terbuka membuka peluang bagi siapa pun yang mau didukung, yang dalam istilah Nina diobral. Buktinya, KSPI menyatakan ada beberapa kriteria bagi Capres yang layak untuk didukung buruh; dimana petahana bukan salah satunya.