Melawan Kerakusan Mafia Tambang, Momentum Suarakan Ratifikasi C-176

Oleh: Kahar S. Cahyono*

Isu terkait dengan keberadaan tambang ilegal makin ramai diperbincangkan. Sejumlah jenderal dituding ikut terlibat dalam permainan kotor itu. Mereka disebut-sebut menerima aliran dana yang besarnya cukup fantastis. Mencapai milyaran.

Nama-nama beken seperti Kabareskrim Komjen Agus Andrianto dan eks Kapolda Kalimantan Timur (Kaltim) Irjen Herry Rudolf Nahak ikut dibawa-bawa. Setidaknya kita bisa mendengarnya dari video viral Ismail Bolong, meski kemudian dibantah sendiri oleh Ismail yang menyebut bahwa itu tidak benar. Belakangan isu soal tambang illegal itu juga dikomentari oleh Ferdy Sambo dan Hendra Kurniawan.

Tudingan sejumlah jenderal yang diduga menerima suap tambang illegal memang harus dibuktikan lebih lanjut. Tetapi setidaknya hal ini membuka tabir gelap yang selama ini ditutup rapat. Terlebih lagi, data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut, ada 2.741 lokasi Pertambangan Tanpa Izin (PETI) alias tambang ilegal di Indonesia. Dari jumlah tersebut, tambang ilegal batu bara tersebar di 96 lokasi dan 2.645 lokasi tambang ilegal untuk komoditas mineral.

Itu angka yang besar. Jika data itu benar, mustahil pemerintah tidak mengetahui. Terlebuh data itu disampaikan sendiri oleh Kementerian ESDM, sebagaimana dilansir portal berita cnbcindonesia.com.

Pertanyaannya adalah, mengapa seolah-olah ada pembiaran? Biarlah pertanyaan ini dijawab oleh mereka yang berwenang. Bagaimana pun, aparat penegak hukum memiliki semua yang diperlukan untuk memberantas mafia tambang.

Masalahnya bukan sekedar bisa atau tidak bisa. Bukan pula soal mau atau tidak memberantasnya. Tetapi juga, tentang, apakah mereka menjadi bagian yang terlibat di dalamnya?

Saya akan mengajak Anda untuk berbicara dari sisi yang lain. Tentang para buruh tambang di pertambangan yang illegal.

Jika tambangnya illegal, bagaimana nasib para pekerja di sana? Sudah tentu gelap gulita. Kepastian akan keselamatan dan kesehatan para buruh yang bekerja di sana terabaikan. Bahkan bisa jadi menyebabkan korban nyawa.

Dalam hal ini, saya teringat dengan kampanye yang dilakukan sejumlah serikat pekerja untuk mendesak pemerintah meratifikasi Konvensi ILO No 176 tentang K3 di Pertambangan. Namun sayangnya, hingga saat ini Konvensi ILO No 176 tak kunjung diratifikasi.

Konvensi No 176 terbagi menjadi 3 bagian penting, yaitu tanggung jawab pemerintah, tanggung jawab pengusaha serta hak dan kewajiban pekerja dan perwakilan pekerja.

Terkait dengan kebijakan K3 Tambang, Indonesia memiliki beberapa instrumen peraturan di antaranya yang cukup penting. Sebut saja UU 1/1970 tentang Keselamatan Kerja sebagai aturan Induk. Sedangkan khusus untuk sektor tambang terdapat Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi tentang K3 Pertambangan Umum. Ada juga Peraturan Menteri ESDM tentang penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Pertambangan Minerba, dan beberapa aturan lainnya.

Secara umum kebijakan K3 tambang di Indonesia dalam aturan di atas sebagian sudah mengakomodir C-176 khususnya tanggung jawab pemerintah dan pengusaha dalam pengelolaan K3 tambang, diantaranya bahkan sudah lumayan unggul pada masanya. Hanya saja, catatan kritisnya, dalam kebijakan K3 tambang Indonesia yang belum mengakomodir C-176 ada di persoalan hak perwakilan pekerja untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan K3 dimulai dari pemilihan perwakilan pekerja dalam Komite K3 secara demokratis sampai pada terlibat pada investigasi kecelakaan tambang.

Nah, bicara terkait dengan keterwakilan pekerja menjadi sesuatu yang penting.

Setidaknya, ketika ada keterwakilan pekerja, ada fungsi kontrol yang dijalankan dari dalam. Sehingga ketika ada persoalan yang terjadi, khususnya terkait K3, tidak bisa lagi ditutup-tutupi. Perwakilan buruh pasti akan berbicara, karena itu menyangkut kepentingannya.

Dengan adanya keterwakilan pekerja untuk berpartisipasi — yang lebih lanjut bisa diterjemahkan dengan adanya serikat buruh untuk mensuplay keterwakilan — hal ini bisa meminimalisir pertambangan illegal. Serikat musti tercatat di Dinas Ketenagakerjaan, dan jika tambangnya illegal (tidak tercatat), dengan sendirinya keberadaannya akan terbongkar. Serikat buruh pastilah akan berteriak lantang jika di tempat kerja ada prosedur yang dilanggar.

Oleh: Kahar S. Cahyono
Pemimpin Redaksi (Pimred) Media Perdjoeangan