Setiap tanggal 1 Mei, buruh turun ke jalan. Mereka membawa spanduk, pengeras suara, dan tuntutan yang terus diabaikan dari tahun ke tahun. Sementara di belakang pagar gedung-gedung megah kekuasaan, para pejabat dan pengusaha duduk di ruang ber-AC, menikmati keuntungan dari sistem yang menindas buruh tanpa malu sedikit pun.
May Day seharusnya jadi hari peringatan perjuangan. Tapi di Indonesia, ia lebih mirip rutinitas seremoni tahunan yang dijinakkan. Pemerintah memberi ucapan manis lewat media, sementara di balik layar mereka terus menyusun aturan yang memiskinkan: UU Cipta Kerja, sistem kerja kontrak tanpa kepastian, dan upah murah yang tak sebanding dengan beban hidup.
Peringatan May Day tahun ini pengangguran tetap jadi momok. Bukan karena rakyat malas bekerja, tapi karena sistem kerja itu sendiri dibangun untuk menguntungkan segelintir elit. Ribuan buruh di-PHK atas nama “efisiensi,” lalu digantikan oleh sistem kerja outsourcing tanpa perlindungan. Anak-anak muda lulus kuliah hanya untuk ikut antre kartu kuning di dinas tenaga kerja, atau menjadi korban tren kerja serabutan dengan upah receh. Ini bukan perkembangan ekonomi , ini pembusukan sosial.
Pemerintah bicara soal investasi, seolah-olah itu jawaban dari segala masalah. Tapi siapa yang benar-benar diuntungkan? Pabrik berdiri, tapi buruh tetap di kontrak hingga bertahun tahun, Jutaan orang bekerja tanpa jaminan kesehatan, jaminan perumahan, tanpa masa depan. Ironisnya, negara menyebut ini “kemajuan.”
Kita disuruh bersyukur karena “masih ada kerja”. Padahal kerja yang ditawarkan adalah kerja tanpa hak, tanpa perlindungan, tanpa harga diri. Ketika buruh menuntut kenaikan upah, mereka dituduh menghambat pembangunan. Tapi ketika pengusaha menekan hak buruh, negara pura-pura buta.
May Day bukan untuk bersolek di depan kamera. Ini hari perlawanan. Dan pada 1 Mei 2025 ini, tak ada yang pantas dirayakan selain keberanian buruh yang terus melawan. Karena di negeri ini, hanya buruh yang masih punya harga diri untuk berkata: cukup sudah ketidakadilan ini.
Selama pengusaha terus dilayani dan buruh terus dikorbankan, selama pengangguran terus dibiarkan dan pendidikan hanya mencetak penganggur terdidik, maka May Day akan selalu menjadi hari perlawanan. Bukan hari pesta. Bukan hari basa-basi.