Marabahaya Ketenagakerjaan Indonesia

Baru-baru ini CNBC merilis laporan menarik dan sekaligus mecengangkan. Laporan itu ditayangkan dalam satu sesi acara bertajuk ‘Your Money, Your Vote’. Head of Research CNBC Indonesia, Muhamad Ma’ruf, memaparkan segepok data mengenai postur ketenagakerjaan Indonesia. Bersiaplah untuk menghela nafas.

Di bagian pembuka laporan dijelaskan tren pengangguran di Indonesia. Jumlah orang yang bekerja per Februari 2023 tercatat sebanyak 138,6 juta jiwa. Sementara yang menganggur di nominal 7,99 juta. Angka pengangguran tersebut setara 5,45% dari total angkatan kerja. Secara teori bilangan 5,45% terlihat normal. Tetapi benarkah semua baik-baik saja?

Masalahnya, dari hampir 8 juta pengangguran nyaris separuhnya adalah anak muda. Mereka yang biasa disebut Gen Z. Sebanyak 46% anak muda menganggur. Mereka diidentifikasi sebagai kelompok usia yang baru lulus SMA dan kuliah. Jumlah ini terus meningkat sejak pandemi. Sederhananya, anak muda Indonesia makin kesusahan mencari kerja.

Laporan yang sama coba mengupas komposisi orang yang bekerja. Dari jumlah 138,6 juta orang yang bekerja didominasi pekerja informal. Jumlah pekerja informal saat ini menembus 60,1%. Tren meningkatnya pekerja informal ini telah terjadi sejak tahun 2016. Salah satu sebabnya, buah dari rangkaian PHK.

Demi mengetahui lebih jauh kalangan yang kehilangan pekerjaan, laporan tersebut mencoba mencari tahu besaran pencairan Jaminan Hari Tua (JHT). Memang pencairan JHT bisa pula dikarenakan orang-orang yang sudah memasuki masa pensiun. Tetapi pencairan massal JHT juga menjelaskan kemungkinan terjadinya PHK masif.

Tren pencairan JHT mengalami peningkatan eksponensial belakangan waktu. Angka pencairan JHT di tahun 2022 menembus 3.395.961. Jumlah ini meningkat signifikan hingga 839 ribu. Kenaikan ini terbilang ‘ajaib’ di tengah klaim pemulihan ekonomi yang berhasil dijalankan. Sedangkan kenaikan pencairan JHT selama masa paling pelik, yaitu periode pandemi, hanya sebesar 300-an ribu (2019-2020). Jauh lebih tinggi di periode ketika ekonomi dinyatakan telah pulih.

Di bagian laporan yang membahas ‘Distribusi Status Pekerja’ tergambar kondisi yang mencemaskan. Mengutip data Bank Dunia, disebut sebanyak 17,74% pekerja bekerja tanpa kontrak tertulis. Mereka hidup dalam kondisi tanpa perlindungan, jaminan sosial, dan kepastian hukum. Kenyataan ini mengirim pesan yang jelas, negara sedemikian abai dalam melakukan fungsi pengawasan dan proteksi.

Selain itu, dijelaskan 17,73% pekerja berstatus pekerja dengan kontrak terus menerus. Mereka adalah kalangan yang sama sekali jauh dari jaminan kepastian kerja.  CNBC menyebut dari 138 juta orang yang bekerja hanya di bawah 10% yang memiliki kepastian kerja dalam hidupnya. Angka tersebut bersanding dengan upah yang mengalami minus 3% (dibandingkan inflasi sebesar 5,5%) pada tahun lalu.

Angka-angka ‘brutal’ ini tiba tak jauh dari tahun politik dihelat. Menyimak laporan tersebut kita mungkin tidak hanya sekedar menarik nafas dalam-dalam. Miris. Menyakitkan. Pilu. Kita bisa menemukan frasa kesedihan paling dalam di sana. Sekaligus juga mengundang kemarahan.

Politisi partai-partai borjuis bersibuk diri membuat perjodohan politik yang tampak rumit dan tak kunjung kelar. Si Fulan bersua Si Murat untuk menemukan hilal koalisi dan pencapresan. Tanyangan talk show politik dipenuhi oleh lembar survei yang menjajakan elektabilitas dan silang opini tentang siapa mendampingi siapa.

Mereka tidak mengucapkan apa-apa tentang marahabaya yang tengah dihadapi kelas pekerja. Mereka bisa saja berkilah, itu belum waktunya, masa kampanye belum tiba. Tapi, sesungguhnya kita sangat insaf. Mereka memang tak pernah punya waktu untuk memperbaiki nasib kita: kelas pekerja. Mereka tak lain bagian dari marahabaya itu!

Penulis : Adityo Fajar
Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi Partai Buruh