Jakarta, KPonline – Data. Satu kata ini, untuk sebagian orang dianggap merepotkan. Tak terkecuali bagi para aktivis yang bergiat di serikat pekerja.
Seberapa sering kita menggunakan data dalam berargumentasi? Lebih jauh lagi, seberapa sering kita mengolah data primer dan sekunder untuk memperkuat rumusan sebuah tuntutan?
Kita lebih sering asyik berdiskusi, bahkan hingga berjam-jam. Ironisnya, yang sering terjadi, berakhir tanpa catatan. Pembicaraan berbusa-busa menguap begitu pertemuan bubar.
Lalu ketika kembali bertemu, seolah semua memulai dari awal. Tak beranjak maju, tak peduli bahasan yang sama pernah dilakukan seminggu yang lalu.
Mengenai pentingnya sebuah data dalam menopang pergerakan sebenarnya sudah dibahas lama. Ada yang memiliki ide brilian tentang pusat data. Satu ruangan khusus berisi beragam informasi yang hanya bisa diakses orang-orang tertentu. Juga tentang keberadaan pusat kajian dimana isu dan strategi perjuangan dirumuskan.
Tetapi nampaknya inilah gambaran kita. Banyak gagasan yang berhenti sebatas wacana.
Sebagai penulis saya paham. Data adalah bahan bakar yang utama. Sebab dengan itulah kita akan berbicara melalui tulisan. Tetapi masalahnya adalah, seringkali tidak menaruh perhatian besar untuk mendapatkannya.
Kalau mau serius, riset untuk mendapatkan data primer mustinya dilakukan dengan penuh kesungguhan. Tetapi siapa yang akan peduli dengan ini? Sebagian besar menganggap pekerjaan ginian hanya buang-buang waktu. Tidak ada hebat-hebatnya.
Maka lihatlah, jarang sekali ada yang mau menekuni kerja-kerja seperti ini.
Hingga kemudian, tadi pagi seorang kawan dari Semarang mengirimkan pesan kepada saya. Sebut saja, namanya Afgan. Dia menanyakan apakah organisasi kami memiliki bidang yang bertugas mengumpulkan data?
Lalu dia menambahkan, temuan-temuan masalah, data-data advokasi, sikap kritis serikat terhadap regulasi, dan hasil-hasil dari diskusi apakah ada datanya yang terdokumentasi rapi? Sehingga ketika ada yang membutuhkan tidak dijawab dengan, nanti disiapkan. Tetapi berhari-hari kemudian tidak pernah ada data yang bisa ditunjukkan.
Biar dibilang perhatian, saya jawab: Mantap. Lengkap dengan emotion 2 jempol.
“Usulannya menarik, bung. Nanti kita sampaikan ke pimpinan,” kata saya.
Meski ini tidak seperti percakapan kami lewat WhatAssp, saya bisa membayangkan sambil misuh-misuh Afgan berkata. “Aku ini bilang ke sampean karena sampean aku anggap pimpinan. Kok masih mau disampaikan ke pimpinan lagi.”
Di bagian akhir tulisan ini saya teringat, bahwa saat ini Bidang Litbang FSPMI sedang menyusun database anggota di seluruh Indonesia. Bukan hanya untuk mengetahui jumlah anggota, tetapi juga tentang beberapa aspek lain terkait hubungan industrial seperti upah, jaminan sosial, kepemilikan PKB, dan sebagainya. Bisa jadi, kalaulah gerakan dianggap kurang agresif, karena kita abai pada pembinaan dan rekrutmen pekerja muda.
Tentu saja, hal ini adalah bagian penting untuk memahami lebih detail tentang anatomi organisasi FSPMI. Sehingga kita akan mengenal organisasi ini bukan hanya dengan prasangka, tetapi berdasarkan fakta.
Sebagian dari kita mungkin akan mengatakan, ini bukan saat yang tepat. Sebab kini saatnya berjuang upah. Kasus kasus yang terbengkalai, dan sebagainya.
Tetapi saya memiliki tafsir lain atas kesibukan yang dijadikan alasan. Jangan-jangan, justru jawaban atas berbagai persoalan tadi sebenarnya ada pada data yang sedang kita cari. Banyaknya perselisihan terjadi karena minimnya PUK yang memiliki PKB, misalnya
Kalau apa yang kita sampaikan ingin dianggap sebagai kebenaran dan bisa diterima banyak orang, pergunakanlah data. Jangan omdong!