Jakarta, KPonline-Kelas pekerja atau kaum buruh yang tergabung dalam Koalisi Serikat Pekerja bersama Partai Buruh (KSP-PB) melakukan aksi unjuk rasa di depan Kantor Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Jakarta. Jumat, (20/6/2025). Namun kali ini, bukan tentang upah, bukan soal kerja layak, melainkan tentang suara hati nurani, yaitu kemanusiaan. Mereka menggugat diamnya dunia atas tragedi yang tengah mengoyak Timur Tengah.
Empat Tuntutan Utama pun disuarakan. Dalam pernyataan resminya, Presiden Partai Buruh yang juga Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menyampaikan empat tuntutan utama dalam aksi ini:
1. Stop (Hentikan) perang Iran-Israel
2. Stop genosida di Gaza, Palestina
3. Meminta Dewan Keamanan PBB untuk segera menggelar sidang darurat prihal perang Iran-Israel dan meminta Amerika Serikat tidak perlu ikut campur (terlibat langsung) dalam perang Iran-Israel /untuk ikut masuk menjadi proksi Israel
4. Mendesak Pemerintahan Mesir untuk segera membuka jalur perbatasan (Jalur Rafah). Karena jalur tersebut merupakan jalan untuk memberikan bantuan logistik bagi rakyat Palestina.
Perlu diketahui, perang antara Iran dan Israel terus memanas dan telah merenggut banyak nyawa. Iran, demi mempertahankan kedaulatannya, melancarkan balasan atas serangan yang dilakukan Israel. Dalam kekacauan ini, korban jiwa berjatuhan tak pandang usia, tak kenal batas. Dan seperti luka yang tak kunjung sembuh, invasi Israel atas Palestina terus berlangsung, meninggalkan puing-puing harapan di atas tanah Palestina yang diliputi debu dan darah.
Langit tidak lagi biru di atas Palestina, Iran dan Israel yang pernah dipenuhi tawa anak-anak. Ia kini kelabu, seolah turut berduka pada setiap reruntuhan yang ditinggalkan bom dan peluru. Di antara puing-puing rumah yang dulu penuh cinta, kini hanya ada sunyi yang menggema. Peperangan telah menghapus peta kenangan, meninggalkan hanya jejak darah dan tangis yang tak tertulis.
Dahulu, manusia saling menyapa, membagi roti dan harapan. Tapi kini, mereka saling menuding dengan senapan, membagi luka dan dendam. Mereka yang bertempur mengatakan ini demi tanah, demi kehormatan, demi Tuhan. Namun di mata seorang anak yang kehilangan ibunya, tak satu pun alasan itu bisa diterima. Di mata seorang ibu yang memeluk tubuh anaknya yang tak bernyawa, peperangan hanya berarti kehilangan.
Apa yang bisa dibanggakan dari menaklukkan tanah yang ditumbuhi nisan? Apa kemenangan yang bisa dirayakan di atas tubuh-tubuh yang tak lagi bernapas?
Manusia menciptakan perang dengan mulut yang memaki dan tangan yang membunuh. Tapi mereka lupa bahwa kemanusiaan tumbuh dari hati yang memahami dan mata yang menangis bersama. Setiap peluru yang ditembakkan bukan hanya menembus tubuh, tapi juga merobek nurani dunia.
Peperangan tidak pernah benar-benar selesai. Ia hanya beralih nama dan tempat, menyamar dalam berbagai wajah. Tapi dampaknya selalu sama, dimana anak-anak kehilangan masa depan, perempuan kehilangan keluarga, dan dunia kehilangan nuraninya sendiri.
Damai bukan sekadar kesepakatan di atas kertas, ia adalah keberanian untuk mengampuni, kekuatan untuk memeluk, dan keteguhan untuk berkata, “Cukup sudah”
Karena itu semua adalah luka yang tak terlihat di peta, dan luka Gaza merupakan luka buruh Indonesia.