Kondisi Perburuhan dan Ketenagakerjaan Pasca 1998

Jakarta, KPonline – Gerakan buruh Indonesia sejak pergerakannya pada awal abad 20 hingga kini, terus mengalami dinamika yang tinggi. Pernah menjadi salah satu bagian dari kekuatan yang disegani dalam merebut kemerdekaan RI melalui tokoh-tokohnya seperti HOS Tjokro Aminoto, KH. Agus Salim, Suryo Pranoto, Abdul Muis, Semaun dll. Kemudian meredup sejak era Suharto berkuasa, ketika pada tahun 1973, seluruh gerakan buruh di control oleh Rezim Suharto difusikan menjadi FBSI dan kemudian menjadi SPSI.

Hal itu disampaikan dalam laporan pertanggungjawaban Dewan Ekesekutif Nasional Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (DEN KSPI) ketika melaksanakan Kongres IV di Hotel Grand Cempaka, Jakarta Pusat, tanggal 9 hingga 11 Februari 2017.

Bacaan Lainnya

Disebutkan, sejak 1973 hingga 1998, gerakan buruh “dipaksa”, kembali ke barak atau focus hanya pada perjuangannya di dalam pabrik membangun hubungan industrial “yang sempit” dengan slogan harmonis dan berkeadilan, tidak lagi menjadikan parlemen jalanan dan jalur politik dalam memperjuangan dan mewujdukan kesejahteraan. Secara perlahan-lahan, kondisi tersebut telah mengkebiri gerakan buruh dan mencabut akar ideologis perjuangan dan merontokkan gigi dan gerigi militansi kaum buruh Indonesia.

Karenanya tak mudah membangun kembali gerakan buruh Indonesia pasca 1998. Walau sudah ada kebebasan berserikat yang diperoleh, namun tidak membuat langkah gerakan buruh bisa bangkit secara singkat menjadi satu kekuatan social, ekonomi dan juga kekuatan politik. Hal ini dikarenakan tradisi membaca dan berdiskusi tentang gagasan pergerakkan masih sangat minim.

Terbukanya kran demokrasi pasca reformasi 1998 baru sebatas “ephoria eksistensi” yang ditandai dengan telah berdirinya sekitar seratusan Federasi serikat pekerja dan 13 konfederasi serikat pekerja. Namun dari ratusan federasi dan 13 konfederasi, masih banyak organisasinya yang kurang aktif dan tidak termanage dengan baik, sehingga tidak maksimal dalam menjalankan fungsi dasar serikat pekerja.

Yang menarik pasca reformasi ini adalah lahirnya Lima Undang-undang / Kebijakan penting perburuhan yang disebut sebagai paket Reformasi perburuhan di era pemerintahan Gus Dur dan Megawati Soekarno Putri, diantaranya: (1) UU No 21/2000 tentang Serikat Pekerja / Serikat Buruh; (2) UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan; (3) UU No 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan industrial; (4) UU No 39/2004 tentang Penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, dan (5) UU No 40/ 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Ketenagakerjaan

Lahirnya undang-undang tersebut menimbulkan pro dan kontra bagi kalangan buruh, pengusaha dan juga pemerintah. hal ini tercermin dari berbagai penolakan yang dilakukan oleh kalangan pekerja melalui berbagai aksi-aksi dan loby ke Legislatif, sedangkan kalangan Pengusaha melakukan penolakan melaui upaya Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi. Kalangan pemerintah hingga kinipun juga terlihat mendorong adanya revisi UU 13/2003, UU 2/2004 dan UU 21/2000.

Adanya penilaian dan perspektif yang berbeda antara Serikat buruh, Pengusah dan Pemerintah itulah yang membuat dinamika gerakan buruh pasca 2004 terus bergeliat, ditambah aturan turunan dari 5 Undang-undang tersebut yang dianggap tidak berpihak atau tidak menguntungkan ketiga pihak tersebut, terutama kaum buruh.

Pos terkait