Kisah Guru Honorer Yang Bertaruh Nyawa Menjalankan Tugas, Tapi Nasibnya Tak Pernah Jelas

Pemalang, KPonline – Beredar sebuah video di youtube, seorang guru perempuan sedang menyeberangi sungai. Karena jembatan roboh, maka ia harus melawan arus yang deras.

Redaksi mendapatkan informasi, jika guru tersebut bernama Atik Dyat Prastuti. Perempuan kelahiran Pemalang pada 26 Desember 1977 ini sudah mengabdi menjadi sejak tanggal 21 0ktober 2004, hingga sekarang.

Simak penuturan Atik, berikut ini:

Saya seorang Guru Honorer K2 sudah 14 tahun mengabdi, tepatnya di sebuah SD Negeri di Kecamatan Watukumpul Kabupaten Pemalang – Jawa Tengah.

Suami saya Ahmad Komarudin. Kami dikaruniai 2 orang anak. Saya tinggal di Desa Luragung, Kecamatan Kandangserang Kabupaten Pekalongan.

Suami saya tidak mempunyai pekerjaan tetap. Hanya seorang buruh proyek. Itu pun jika ada proyek. Seringkali, setahun sekali baru dapat proyek. Banyak nganggurnya ketimbang kerjanya.

Dengan bayaran di sekolah 255 ribu/bulan, mungkinkah bisa mencukupi kehidupan kami dan anak-anak kami?

Saya mengabdi dari usia anak saya yang pertama baru 4 tahun hingga kini sudah lulus SMA dan akan menginjak ke Perguruan Tinggi Negeri.

Alhamdililah anak kami diterima lewat jalur SNMPTN. Bahagia bercampur haru, juga sedih tangis dan bahagia. Bercampur tangis pilu kami.

Terbayang di benak saya, mampukah saya membiayai anak saya diperguruan Tinggi Negeri sementara kami berpenghasilan sangat minim? Dulu kami berharap suami tertatih-tatih membiayai saya kuliah di keguruan agar kami bisa mengikuti jejak bapak ibu kami untuk mencerdaskan anak bangsa dan berharap bisa memperbaiki ekonomi keluarga agar bisa membiayai hidup anak-anak kami.

Tapi nasib baik belum berpihak pada saya. Meskipun sudah 14 tahun mengabdi, tetapi gelar PNS belum saya dapat. Sementara dari rumah ke tempat saya mengajar saya harus menggunakan jasa ojeg karena saya harus ikut suami.

Sepeda yang bisa kami beli kadang dijual lagi untuk menyambung kebutuhan kami.

Kata pepatah, sudah jatuh ketimpa tangga pula. Jembatan satu-satunya penghubung antara tempat tinggal saya dan tempat bekerja roboh terbawa banjir.

Kini saya mengajarpun harus jalan kaki dari rumah merangkak diantara puing puing jembatan yang roboh dan menyebarangi sungai kemudian dijemput ojeg sampai ke sekolah.

Saya berharap kepada Pemerintah pemegang kebijakan tolong perhatikan nasib kami.

Tingkatkan kesejahteraan dan bangun jembatan kami yang roboh.