Purwakarta, KPonline – Di negeri yang katanya menjunjung tinggi keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya, konflik hubungan industrial terus saja menjadi luka yang belum sembuh. Berkali-kali persoalan serupa muncul, yaitu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak, upah tak sesuai harapan, status kerja yang tak menentu, hingga pemberangusan serikat pekerja. Ironisnya, meski Undang-Undang dan institusi pemerintah berdiri dengan slogan keadilan, mereka kerap gagal menjadi penengah yang adil, apalagi menjadi penyelesai masalah.
Salah satu contoh misalnya adalah dimana ketika Serikat pekerja berhadapan dengan manajemen perusahaan akibat PHK yang dinilai sepihak. Situasi ini menambah daftar panjang konflik yang berulang dan tak kunjung menemui titik terang. Di atas kertas, Undang-Undang Ketenagakerjaan seharusnya mampu melindungi pekerja. Pemerintah pun, melalui kementerian dan dinas terkait, semestinya bisa menjadi mediator yang netral. Namun realitas berkata lain. Para buruh masih harus turun ke jalan, berteriak menuntut hak yang seharusnya mereka terima tanpa perlu demonstrasi.
Mengapa ini terus terjadi? Bukankah hukum sudah ada? Bukankah pemerintah hadir?
Masalahnya, hukum sering tumpul saat berhadapan dengan kekuatan modal. Undang-undang, meski tertulis tegas, kerap diabaikan oleh perusahaan yang merasa lebih kuat secara ekonomi dan politik. Pemerintah pun tampak gamang, antara keberpihakan kepada investor atau perlindungan terhadap rakyat pekerja yang seharusnya menjadi tugas utamanya.
Mediator-mediator pemerintah yang diharapkan adil sering kali hanya menjadi perantara formalitas tanpa solusi nyata. Proses mediasi berubah menjadi panggung basa-basi yang tak menghasilkan keputusan tegas. Akhirnya, hubungan industrial bukan diselesaikan dengan win-win solution, tapi dibiarkan berlarut-larut hingga memunculkan rasa frustrasi di kalangan pekerja.
Buruh yang kehilangan pekerjaan bukan hanya kehilangan penghasilan, tapi juga kehilangan martabat. Sementara perusahaan yang merasa tak tersentuh hukum, terus melanggengkan praktik semena-mena dengan dalih efisiensi atau restrukturisasi. Dan pemerintah? Lagi-lagi hanya hadir sebagai penonton yang sibuk membuat himbauan tanpa keberanian bertindak tegas.
Apakah kita akan terus membiarkan ini terjadi? Apakah hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas? Apakah negara hanya kuat menghadapi rakyatnya sendiri, tapi lemah di hadapan korporasi?
Sesungguhnya, konflik hubungan industrial seperti PHK sepihak ini tidak akan pernah selesai selama negara membiarkan perusahaan besar mengatur aturan main sendiri. Selama hukum tidak ditegakkan dengan adil, selama pemerintah tidak berani berpihak kepada kebenaran, buruh akan terus menjadi korban yang harus berjuang sendiri di jalanan.
Kita tak sedang menginginkan negara yang anti investasi, tapi negara yang menegakkan keadilan tanpa pandang bulu. Negara yang membuat investor nyaman karena hukum ditegakkan, bukan karena buruh dibungkam. Negara yang membuat pekerja tenang bekerja karena hak-haknya terlindungi, bukan karena takut kehilangan pekerjaan sewaktu-waktu.
Namun hingga hari ini, harapan itu masih jauh dari nyata. UU Ketenagakerjaan yang ada, sering diubah bukan untuk memperkuat perlindungan pekerja, tapi justru membuka celah bagi fleksibilitas yang merugikan buruh. Pemerintah yang seharusnya jadi penengah, lebih sibuk menjaga iklim usaha daripada menjaga kesejahteraan pekerja.
Maka jangan salahkan buruh jika terus melakukan aksi. Jangan salahkan serikat pekerja jika terus bersuara. Mereka tidak menuntut lebih, mereka hanya menuntut apa yang seharusnya menjadi haknya. Karena ketika hukum dan pemerintah gagal melindungi, hanya solidaritas dan perjuangan kolektif yang bisa menjadi benteng terakhir.
Semoga suatu hari nanti, kita punya negara yang benar-benar hadir sebagai pelindung semua pihak, bukan hanya jadi pelayan modal. Sebab tanpa keadilan, hubungan industrial yang harmonis hanyalah mimpi di siang bolong.