Ketika Presiden KSPI Said Iqbal Dipanggil Polisi Terkait Dugaan Makar

Presiden KSPI memberikan keterangan kepada pers usai diperiksa sebagai saksi terkait makar.

Jakarta, KPonline – Kita tidak akan pernah lupa, ketika Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mendapat surat panggilan dari bagian Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya, pada bulan Desember 2016 sebagai saksi atas dugaan tindak pidana Makar.

Sebelum Said Iqbal dipanggil sebagai saksi, sebelumnya aparat kepolisian telah menetapkan 12 tokoh menjadi tersangka atas sangkaan pasal yang berbeda. 11 tokoh ditangkap di beberapa lokasi menjelang aksi damai 212. Terbaru, Hatta Taliwang ditangkap pada Kamis dini hari, di kediamannya di Tanah Abang pada 8 Desember.

Bacaan Lainnya

Delapan orang yang ditetapkan menjadi tersangka dugaan makar adalah mantan anggota staf ahli Panglima TNI Brigadir Jenderal (purn) Adityawarman Thaha, mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (purn) Kivlan Zein, Sri Bintang Pamungkas, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Rachmawati Soekarnoputri, aktivis Ratna Sarumpaet, Ketua Bidang Pengkajian Ideologi Partai Gerindra Eko Suryo Santjojo, Ketua Solidaritas Sahabat Cendana Firza Husein, dan tokoh buruh Alvin Indra Al Fariz.

Said Iqbal sendiri sudah jauh-jauh hari mengatakan, bahwa tidak ada niat dalam dirinya untuk melakukan makar. Jika KSPI memutuskan untuk melakukan aksi pada 212, semata-mata adalah pertimbangan momentum strategis — berbarengan dengan gerakan rakyat. Tuntutan yang diusung pun untuk perbaikan kesejahteraan, yakni cabut PP 78/2015 dan kenaikan upah minimum 15-20%. Disamping itu, tuntutan agar Ahok segera dipenjara, sebagaimana yang pernah disuarakan KSPI jauh hari.

Dalam beberapa kesempatan, Iqbal sendiri pernah mengatakan, bisa jadi tuduhan makar bisa jadi adalah cara untuk membungkam orang-orang yang selama ini dianggap kritis terhadap pemerintah.

Kasus makar terkait aksi 212 berhenti begitu saja. Banyak orang yang sudah melupakan peristiwa itu.

Namun demikian, saya kembali teringat kisah terkait makar itu ketika Tenaga Ahli Kedeputian IV Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin menyakini bahwa #2019GantiPresiden adalah gerakan makar. Padahal, Bawaslu sendiri sudah mengatakan bahwa deklarasi #2019GantiPresiden bukan pelanggaran pemilu. Ia hanya sebagai bentuk kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum.

Karena itu, tuduhan Ngabalin bahwa #2019GantiPresiden adalah makar adalah tuduhan yang serius. Karena ancaman hukuman makar bisa mencapai 20 tahun hingga mati.

Seperti yang pernah disampaikan Said Iqbal, bisa jadi tuduhan makar bisa jadi adalah cara untuk membungkam orang-orang yang selama ini dianggap kritis terhadap pemerintah. Jika memang ini adalah upaya untuk pembungkaman, artinya apa yang dikhwatirkan Rizal Ramli benar. Demokrasi sedang mundur ke belakang.

Tentu saja, kita tidak ingin hal itu terjadi.

Pos terkait