Kereta Api dan Orang-Orang Yang Ingin Merdeka

Dan adalah seorang masinis. Juru operasi kereta api. Wajahnya ditumbuhi bulu-bulu tipis, berjambang samar, dengan tatapan sendu atau tajam seturut suasana dan waktu. Sebagai orang Irlandia, Dan berkhidmat pada Irlandia yang merdeka, yang terbebas dari cekikan kolonialis Inggris. Oleh karenanya, pada suatu hari Dan memimpin pemogokan buruh kereta api.

Pemogokan ini diniatkan demi meredam mobilisasi militer Inggris. Kereta api stop mengangkut serdadu dan persenjataan Inggris. Akibatnya, seorang komandan tentara pun geram. Memopor Dan dengan bedil. Menghajarnya. Dan tersungkur berpoles luka serta memar. Tetapi itu tak membuatnya surut. Tekadnya terlanjur pasang. Dan ingin bangsanya merdeka. Lebih jauh dari itu, dia mengidamkan Irlandia yang sosialistik.

Dan penyuka buku, gandrung membaca. Amat banyak yang dibaca, sehingga dia dengan gampang meneruskan bait puisi milik penyair William Blake, yang dilafalkan terbata-bata dari tembok penjara. Saat dibui, Dan bercakap-cakap dengan seorang tahanan muda. Mereka berdua bersambung kata, kemudian bersua dalam satu kalam,

“Jika besok kau usir tentara Inggris dan kau mengibarkan bendera hijau di atas Kastil Dublin. Kecuali kalian membentuk Republik Sosialis, semua kerja keras mu itu akan sia-sia. Inggris akan tetap menguasai mu melalui tuan tanah, kaum kapitalis, dan institusi komersial.”

Kalimat itu berasal dari pidato James Connolly. Seorang pejuang Irlandia yang memimpin Brigade Dublin dalam Pemberontakan Paskah yang termasyur. Dan mengamini kalimat Connolly. Buruh kereta api ini mengangkat bedil, setelah aksi mogok menghentikan mesin kereta api. Revolusi (kemerdekaan) adalah perang!

Dan merupakan sosok fiksi di film epik ‘The Wind That Shakes the Barley’. Film yang dibikin Ken Loach pada 2006. Loach sutradara terpandang Inggris. Kadang-kadang namanya diingat karena getol mengadvokasi kemerdekaan Palestina, hingga dirinya dituding anti semit. Dia dikenal menyukai gaya dramatis dalam penyajian film. Katanya, perjuangan kelas pekerja memang selalu dramatis.

Loach sendiri merupakan anggota Partai Buruh. Jenis anggota partai yang tak penurut. Yang datang dan pergi, khusyuk pun onar, bersetuju dan membangkang. Aktif sejak awal 1960-an, Loach hengkang pada medio 1990-an, sebab partai dinilai makin lembek dan menjauh dari adimarga perjuangan kelas pekeja. Loach bergabung lagi ke Partai Buruh di 2017, seiring kemunculan Jeremy Corbyn.

Cerita semacam Dan, tentu tak melulu ada di fantasi layar lebar belaka. Bukan sebatas rekaan sinematik saja. Di dunia non fiksi kisah serupa itu eksis; nyata. Ia dapat diwakili oleh peristiwa di zaman lalu: Mei 1923. Masa ketika buruh-buruh kereta api menduplikasi bara perlawanan di tanah Hindia Belanda yang menua dipiting penjajahan. Dari Jawa hingga Sumatera, kaum kuli membuat perhitungan kepada Belanda.

Itu adalah pemogokan besar. Besar saat diserukan, besar pula dalam kenyataan. Mogok yang sesungguh-sungguhnya, bukan ‘ganti shift’ sebagaimana yang familiar dilakukan banyak serikat buruh belakangan dasawarsa. Pemogokan ini benar-benar galak, tak sekedar pedas kala diumumkan di muka khalayak.

Pada mulanya resesi besar bergelayut di tahun 1922. Kehidupan tenaga bayaran makin nestapa. Tunjangan diamputasi, tarif kontrakan melambung, kenaikan upah tahunan dibekukan, PHK menjalar ke banyak orang. Derita sudah menggenang sampai seleher. Mereka yang miskin dihadapkan pada keadaan hidup atau mati.

Selama setahun Semaoen lewat VSTP menggiatkan konsolidasi buruh kereta api. Semaoen merupakan pemimpin dan maskot agung gerakan buruh kereta api. Dalam kaca mata lain, putra pemecah batu ini merupakan anak haram sejarah, jika yang ditakzimi adalah kitab sejarah bikinan Orde Baru. Semaoen menggelar rapat-rapat umum, menampung keluhan buruh, mengikatnya dalam persatuan barisan.

Pemogokan pun pecah usai Semaoen ditangkap. Di bulan Ramadhan, Mei 1923, kemarahan buruh-buruh kereta api menjalar laksana api. Pemogokan buruh trem meletus di seluruh Jawa. Separuh dari jumlah masinis turut berhenti kerja. Diikuti pedagang pasar umum, pegawai toko mesin, serta sopir mobil dan truk. Polisi dan tentara dikerahkan untuk menjaga jalur-jalur kereta api. Penangkapan-penangkapan susulan terjadi. Dari Jember, Surabaya, Bandung, Semarang, hingga Pekalongan, satu persatu pendukung pemogokan diciduk.

Amarah yang dinyalakan di Jawa merambat ke tanah Sumatera. Buruh di Atjehtrem mogok pada 12 Mei. Di Medan mogok terjadi pada bulan Juli. Di bulan yang sama, pemogokan buruh terjadi di Perkebunan Nemoetrasi milik Deli Maatschappij, Sumatera Timur.

Sinar Hindia, melukiskan awal seruan pemogokan itu dalam editorialnya yang lantang dan tak malu-malu. “Hei kamu proletar! Bergabunglah dengan barisan segera. Tinggalkan kapitalis-kapitalis yang berkhianat. Jangan dengarkan kata-kata manis dari pihak lain. Semuanya adalah racun. Percaya hanya pada kekuatanmu sendiri!”

Pemogokan itu lamat-lamat padam di bulan Agustus. Bulan yang akan menjadi istimewa pada masa kemudian. Semaoen dibuang ke negeri Belanda, setelah sebelumnya hendak diasingkan ke Timor. Bertahun berlalu, kereta penumpang kelas III seri CL5329 yang terbuat dari kayu memuat grafiti besar. Di dinding kereta tertulis huruf besar ‘MERDEKA ATAOE MATI!’.

Kereta api kayu itu kini sudah dimesuemkan. Menjadi tontotan, mewakiki epos sejarah sebuah bangsa. Tetapi apakah kita sudah merdeka? Jika ditanya kepada mereka yang miskin papa, terlantar hari depannya, mungkin akan banyak yang menggelengkan kepala. “MERDEKA. MERDEKA. MERDEKA… siapa yang merdeka?”, tulis Wiji Thukul dalam puisinya.

Adityo Fajar – Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi Partai Buruh