Kemarau di Simpang Pandemik

“Mulai besok anda dirumahkan”, masih terngiang di telinga Sardi kalimat itu, kalimat yang membuat jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya. Langsung ia terbayang istri dan anak-anaknya, bagaimana dengan mereka jika mendengar kabar tak baik ini. Tulangnya pun terasa lolos ketika kepala personalia tempatnya bekerja itu melanjutkan ucapannya,

“Ini kebijakan perusahaan, terkait dengan penyebaran virus corona, produksi kita terpaksa dikurangi terkait permintaan barang yang menurun, dan hak hak anda juga tak dapat kami penuhi”.

Belum hilang rasanya sesak didada Sardi karena memikul beban produksi yang akan dikemas tadi, kini semakin bergemuruh laksana badai yang akan segera tiba.

Tubuhnya limbung, ia melewati gerbang pabrik dengan gontai. Matanya nanar, antara bingung yang memuncak dan tangis yang tertahan.

Sedari tadi Sardi diam tak banyak omong, lidahnya kelu, hingga maghrib tiba kabar buruk itu belum juga ia sampaikan pada istrinya. Ia hanya tak ingin keluarganya ikut ikutan bersedih dengan berita ini, biarlah ia yang memikirkannya sendiri.

Jika kondisi Negara tidak sedang dilanda wabah mungkin Sardi tak sebingung ini, ia bisa saja mencari kerja ketempat lain, atau berdagang, atau menjadi pengemudi ojol. Tapi ini benar benar berbeda. Baru saja kemarin sore ia ngobrol dengan rusdi tetangganya yang mengeluhkan dagangannya yang sepi, jauh dari harapan. Belum lagi berita tak enak dari yanto yang orderan ojol nya tak bergairah akibat wabah corona ini.

Selepas makan malam Sardi mengumpulkan sisa sisa keberaniannya. Dengan gaya tenang yang dibuat buat ia berujar,
“Dik, mulai besok abang dirumahkan”, sebait kalimat itu sudah cukup menghentikan marni yang sedang menyapu dapur rumahnya.

Marni diam, matanya lurus menatap Sardi, meskipun wajahnya belum cukup mampu untuk menyembunyikan kekecewaannya.

Dengan langkah yang tenang ia mendatangi suaminya,
“Ada apa rupanya? Apa abang ada salah?, Tanya marni.

“Tidak ada, produksi menurun, akibat wabah corona yang terus berkembang, jadinya ada banyak karyawan yang harus dirumahkan, termasuk abang” jawab Sardi dengan nada datar.

“Ya sudah bang, nanti kita pikirkan bersama, bagaimana caranya melewati cobaan ini, yang terutama fahri harus tetap sekolah”.
Marni terus berupaya menenangkan suaminya, ia paham bagaimana kondisi psikis Sardi.

Malam itu Sardi melewati malam dengan hati yang sendu, sesendu gerimis waktu itu yang pergi setelah subuh.

Sardi menggeber sepeda motornya mengarah pulang, jalanan tampak sepi, tak seperti hari hari sebelum corona mewabah, Ia masih terus berusaha bagaimana agar dapat penghasilan meskipun tidak tetap.

Dari jauh terlihat sekitar rumahnya ramai orang berkumpul,
“Ada apa ya? , gumamnya dalam hati.
“hey bang, cepat fotocopy kan KTP mu, beserta KK, ini katanya ada bantuan dari pemkab” seorang tetangganya mengingatkan.

“Oh ya? Bantuan apa?
“Belum tau bang, mungkin sembako”

Segera Sardi menuju rumahnya yang tinggal beberapa jarak lagi, dan ternyata ia menemukan marni istrinya sudah berbaur dalam kerumunan tadi.

“Bang, ini KK sudah ku photocopy kan, tinggal KTP abang aja yang belum” , teriak marni setelah melihat suaminya pulang.

Sejurus kemudian Sardi segera memutar balik sepeda motornya untuk memenuhi persyaratan bantuan tersebut.

Malam itu Sardi lebih banyak melamun, hingga hari keempat ini dia belum juga mendapatkan solusi untuk mendapatkan nafkah rumah tangganya, selain itu Sardi juga mereka-reka bantuan apa yang akan mereka dapatkan dari pemkab tersebut.

Mudah mudahan ada telaga bening yang dapat menghapus kemarau ditengah tengah masyarakat, khususnya disekitar dusun tempat ia tinggal.

Tepat seminggu setelah heboh tentang bantuan pemkab waktu itu, tiba tiba ia mendengar suara seperti orang berkerumun. Kebetulan Sardi sedang berada dirumah, karena hingga kini ia belum juga mendapatkan pekerjaan meskipun sekedar menjadi kuli kasar.

“Bapak ibu harap tetap berada dirumah, jangan ada yang keluar apalagi berkumpul, bantuan ini akan kami hantarkan kekediaman bapak ibu masing masing”.

Sardi mendengarkan maklumat itu samar dari kamarnya, ”Itu seperti suara pak kadus”, katanya dalam hati.

Ia melihat marni sudah berada diteras rumah setelah Sardi keluar dari kamar.
“jangan keluar dik, ikuti saja apa kata pak kadus” demikian Sardi mengingatkan istrinya.

Tak sampai sejam kemudian orang orang kembali heboh, semuanya memberi tanggapan tentang bantuan yang baru saja mereka terima, padahal pak kadus belum benar benar keluar dari kampung itu. Sebagian orang mengeluhkan jumlah bantuan yang mereka nilai sangat sedikit, sangat tidak mencukupi.

“Beras 10 kg dan kecap juga gula garam ini mungkin bisa tahan sebulan, tapi bagaimana dengan biaya listrik kita? Bagaimana dengan biaya anak sekolah? Sebaiknya sabun dan masker yang banyak itu diganti dengan uang saja, biar bisa membantu biaya yang lain” ujar seorang warga.
“Sukurin sajalah, mudah mudahan setelah ini ada bantuan lanjutan”, timpal warga yang lain.

Sardi cenderung setuju dengan pendapat warga yang pertama, karena ia merasakan bagaimana beratnya menjalani hidup akhir akhir ini setelah wabah corona, meskipun ia juga menyadari bahwa bantuan tersebut memang harus tetap disukuri.

Sebulan sudah terlewati, Sardi belum juga menemukan jalan keluar masalah ekonomi keluarganya. Tabungan semakin menipis, seiring bantuan dari pemkab yang hingga kini belum ada kelanjutannya.
Fikirannya benar benar kacau, kadang terbersit dalam hatinya untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum, namun Sardi masih mampu menahan diri.

Tapi sampai kapan?
Sampai kapan ia bisa bertahan?
Apakah sampai anak istrinya kelaparan? wallahualam….

Penulis : Nurfadli

Cerita ini hanya fiktif belaka, mohon maaf jika ada kesamaan nama