Kami Menolak UMK !!!

Bogor, KPonline – Sabtu pagi 23 November 2019 yang sejuk, ditemani cahaya langit pagi yang redup temaram, berangan-angan bisa berakhir pekan dengan menyenangkan. Akan tetapi tiba-tiba saja, semua khayalan saya tadi berubah menjadi suram. Layar ponsel saya berubah buram, seakan-akan bungkam tatkala seorang kawan mengirimkan beberapa foto. Sekilas nampak biasa saja dari 7 foto yang dia kirimkan ke grup Whatsapp, dimana ada banyak aktivis buruh lintas bendera berkumpul disana. Sontak saja, berbagai komentar miring dituliskan, menanggapi tulisan-tulisan yang ada didalam foto-foto tersebut.

Komentar sadis, afgan, cetar dan membahana, juga komentar yang menohok, hingga sebutan penghuni seluruh Kebun Binatang Ragunan, semua terucap. Hal itu mereka tuliskan sebagai bentuk rasa kesal dan ungkapan kekecewaan, pun sepintas sepertinya masih dibatas kewajaran. Pasalnya, beberapa hari sebelumnya, mereka harus keluar dari pabrik-pabrik dimana mereka bekerja, meninggalkan pekerjaan, berpanas-panasan menembus kemacetan, menuju Kantor Pemerintahan Kabupaten Bogor untuk memperjuangkan penetapan UMK (Upah Minimum Kabupaten/Kota) Bogor.

Belum lagi, mereka pun harus melakukan pengawalan surat rekomendasi Bupati Bogor menuju Bandung. Tenaga, pikiran dan tak terhitung materi yang telah mereka keluarkan, demi sebuah arti perjuangan upah. Kepanasan, kehujanan dan bahkan harus rela tidur di emperan Gedung Sate, menunggu Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat tentang penetapan nilai UMK. Yeah, meski pun pada akhirnya, Aa Ridwan Kamil “melehoy”, dan hanya mengeluarkan Surat Edaran. Lamun ceuk Mang Asep, nu boga warkop dipojokan pos Hansip mah, “Hello Aa Emil, ari maneh teh cageur ?”

7 foto tersebut menggambarkan dengan jelas, orang-orang yang berbaris laksana sedang melakukan aksi unjuk rasa. Dominasi kaum buruh perempuan, sangat kental terasa. Dan berdasarkan informasi yang saya himpun, 6 dari 7 foto tersebut diambil dari 2 (dua) pabrik garmen yang berada dikawasan Cileungsi, Bogor.

“Kami menolak UMK”, “UMK = Nganggur”, “Kami tidak ingin pabrik kami bekerja tutup”, “Berunding Upah Lebih Baik”, dan berbagai tulisan lainnya, yang pada intinya, mereka tidak ingin dibayar dengan UMK. Mereka beralasan, jika upah mereka terlalu tinggi, maka bisa saja pabrik tempat mereka bekerja gulung tikar dan tutup. Atau pabrik tersebut relokasi ke wilayah, yang upah buruhnya masih rendah. Hal itu sungguh diluar kewajaran berpikir, atau mungkin saja mereka tidak pernah mengenal apa itu serikat pekerja atau serikat buruh. Sehingga mereka tidak pernah ikut aksi unjuk rasa atau demonstrasi menuntut upah yang layak. Pendidikan perburuhan bagi mereka seakan-akan sebuah tabu yang tak boleh disentuh, apalagi disingkap hingga sanggup mereka intip kedalam.

Pertanyaannya, apakah mereka mengetahui apa itu UMK? Saya berkeyakinan, mereka tahu. Kalaupun hanya sedikit pengetahuan mereka tentang pengupahan, setidaknya mereka tahu apa itu upah minimum. Tapi sayangnya, mereka belum memiliki keberanian untuk menentang penindasan, yang jelas-jelas menimpa diri mereka sendiri. Mereka rela dibayar murah, pun meski pada akhirnya akan “membunuh” diri mereka sendiri dan keluarganya. Upah murah adalah bentuk penjajahan masa kini, penindasan yang berkepanjangan, dan sudah waktunya kita akhiri saat ini juga.

Banyak diantara mereka, buruh-buruh garment dan tekstil, yang sudah mengetahui produk yang mereka buat untuk pangsa pasar internasional. Dan sudah jelas, mata uang yang digunakan adalah mata uang Negeri Donald Trump. US Dollar Bro ! Ditambah pula dengan munculnya oknum-oknum, yang ingin merendahkan harkat dan martabat kaum buruh negeri ini, melecehkan anak-anak bangsa dengan “berkongsi” bersama pengusaha memberikan upah murah. Seperti konspirasi para kaum pengusaha dalam menebalkan kantong-kantong uang mereka, dan hanya memberikan upah ala kadarnya kepada buruh-buruhnya.

Kita ambil contoh sebuah produk tas kualitas eksport, dan memang produk tersebut hanya untuk di eksport keluar negeri. Anggaplah harga sebuah tas kualitas eksport dihargai sekitar kurang lebih 300 US Dollar. Dan jika kurs mata uang 1 US Dollar sama dengan Rp. 14 000; , itu sama saja dengan Rp  4 200.000 atau setara dengan UMSK Kelompok 2 Kabupaten Bogor saat ini. Emejing bukan ? 

Jika mereka, buruh-buruh garment yang berpose sambil memegang spanduk yang bertuliskan “Kami Menolak UMK”, menginginkan upah murah, seharusnya mereka tidakk perlu melakukan aksi unjuk rasa yang terasa sekali “settingan” pengusaha nakal. Mereka tidak perlu meneriakkan “Kami menolak UMK”. Mereka cukup bilang ke atasan, atau pengusaha-pengusaha cap upah murah tersebut, bahwa mereka bersedia menanda tangani siap diberikan upah murah atau seikhlasnya para pengusaha.

Sepertinya, liburan akhir pekan di minggu ketiga bulan November ini harus saya tunda. Bersama kawan-kawan buruh yang lain, kiranya akan memberikan pendidikan perburuhan dan pemahaman lebih lanjut kepada mereka. Secara cuma-cuma tentunya. Agar mereka memahami apa arti upah bagi urat nadi dan keberlangsungan hidup mereka saat ini dan di masa depan. Karena sepatutnya, diatas seluruh hamparan muka bumi ini, upah murah harus dihapuskan. Ketidak tahuan kalian, ketakutan dan kekhawatiran kalian akan masa depan yang lebih baik, tidak sepantasnya dihadiahi upah murah disetiap akhir bulan. (RDW)