Jangan Katakan Produktivitas Buruh Indonesia Itu Rendah

Sidoarjo, KPonline – Ketika menulis ini, aku sedang berada di Rumah Sakit Siti Hajar Sidoarjo untuk menunggu seorang kawan yang baru saja masuk ruang rawat inap. Temanku ini bernama Pamuji. Dia bekerja di PT PRI, sebuah pabrik yang memproduksi spare part otomotif berbagai merek terkenal di dunia.

Di perusahaan ini, perhitungan tugas kerja di hitung dalam satuan detik. Dalam artian, jika dalam satu proses kerja terdapat stop time maka ada petugas khusus yang mencatat berapa lama proses berhenti tersebut yang selanjutnya dari waktu berhenti sekian detik itu di akumulasi dalam satu shift berapa totalnya, yang pastinya karyawan akan ditanya terlebih dahulu apa yang menjadi penyebabnya.

Bacaan Lainnya

Dengan adanya pencatatan tersebut tentu membuat karyawan harus bekerja extra keras dan selalu berfikir agar pekerjaannya tidak terjadi kesalahan yang menyebabkan proses kerja terhenti. Akibatnya, jam kerja padat dengan pekerjaan. Karyawan dipacu untuk terus bekerja.

Dalam satu bulan ini ternyata di tempat kerja Pamuji beberapa kali mengalami kerusakan mesin. Namun meski demikian tidak lantas membuat manajemen untuk mengurangi kuantitas produksi. Mereka tidak ingin produksi mesin menurun meski ada kerusakan. Alhasil jam kerja pun di tambah dari 8 jam menjadi 11 jam kerja setiap harinya. Belum lagi untuk menutup kekurangan setiap akhir pekan juga masih ada overtime 2 shift.

Sebagai buruh berpenghasilan upah minimum yang standartdnya untuk buruh lajang, memaksa Pamuji harus bekerja lembur untuk bisa menutup biaya hidup bersama keluarga. Ditambah lagi dengan keinginannya untuk bisa memiliki rumah sendiri tentunya membuatnya terus bekerja tanpa memperhatikan kesehatannya.

Akhirnya siang ini (28/11) dirinya pun jatuh sakit saat dalam kondisi bekerja yang mengharuskan masuk Rumah Sakit. Istrinya yang sedang hamil pun membenarkan cerita ini tentang kenapa suaminya harus bekerja terus menerus.

Melihat hal ini tentunya membuat hati terasa sakit manakala mendengar kalimat bahwa buruh Indonesia itu tidak produktif sehingga harus di upah murah serta dirasa perlu untuk mendatangkan tenaga kerja dari luar negeri .

Stop hal itu sebab buruh Indonesia diupah murah sehingga harus selalu bekerja keras agar bisa menghidupi keluarganya. Buruh Indonesia bekerja keras. Tetapi ada saja yang beranggapan, keberadaan pekerja di dalam perusahaan tidak lebih berharga dari mesin-mesin produksi yang ketika rusak masih di bisa di jual. Namun bila buruh sakit dan tidak bisa bekerja maka perusahaan akan dengan mudah untuk membuangnya.

(Khoirul Anam)

Pos terkait