Jadi Ancaman Serius Konflik Agraria, Jurnalis Rakyat Minta MK Cabut UU Cipta Kerja

Jakarta,KPonline – Sekretaris Perhimpunan Jurnalis Rakyat (Pijar) Suhari Ete memberikan tanggapannya terhadap tragedi Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Peristiwa yang memicu insiden bentrokan antara aparat dan warga sipil itu dinilai akan kembali berulang selama Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja masih berlaku.

“Selama undang-undang itu masih ada saya kira kasus Rempang bukan yang terakhir. Masih akan ada kasus serupa lagi,” kata Suhari kepada media, Jumat (29/9)

Bacaan Lainnya

Ia mengingatkan kembali tragedi lain yang serupa dengan nasib masyarakat Rempang, Batam, Kepulauan Riau.

“Sebelum Rempang sudah ada kasus serupa di Gili Trawangan, di sana sudah ada penduduk asli dan sekarang di kelola oleh investor“ Ujarnya

Menurutnya, UU Omnibus Law semakin memudahkan para pemodal untuk menggunakan lahan-lahan di Indonesia. Demo penolakan UU Omnibus Law juga pada nyatanya malah mendapat tindakan represif dari pihak kepolisian.

Iapun meminta mahkamah Konstitusi mencabut UU Cipta Kerja melalui kewenangannya.

Ia menyoroti Bank Tanah dalam UU Cipta Kerja yang seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat. Bank Tanah dapat digunakan untuk lahan-lahan pertanian, bukan malah untuk pembangunan yang sifatnya merampas tanah rakyat.

Menurutnya UU Cipta Kerja jangan sampai meminggirkan masyarakat. Seolah-olah penguasaan tanah itu diberikan kepada mereka yang telah mendapatkan perizinan dari pusat, dan ketika masyarakat menyampaikan beberapa hal atas ketidaksetujuannya, masyarakat dianggap tidak paham. Adapun yang dianggap paham adalah mereka para pemilik modal.

“Lalu para pemilik modal yg seharusnya juga mendapat perhatian dalam pengurusan izin, saat ini mudah sekali mengurus perizinan. Seharusnya segala yang dilakukan pemerintah ini juga harus memperhatikan kepentingan masyarakat, bukan malah mengkriminalisasi masyarakat yang melakukan penolakan,”

Ia menambahkan dampak dari UU Omnibus Law itu sudah terlihat lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Namun negara tetap melaksanakannya dengan dalih demi kepentingan umum. Menurutnya, negara hanya menjadi instrumen bagi para pemodal dalam konsep pembangunan ini.

UU Cipta Kerja juga merubah ketentuan tentang pengaturan upah yang awalnya diberikan dengan standar minimum, kini diubah dengan standar maksimum. Hal ini tentunya telah menggambarkan bahwa UU ini bukan memberikan kesejahteraan bagi rakyat melainkan sebaliknya, berpotensi menjadikan rakyat menjadi gelandangan-gelandangan baru.

Omnibus Law adalah rencana jahat untuk menghancurkan 99% rakyat Indonesia dan tidak menghiraukan kerusakan lingkungan hidup di atasnya. Omnibus Law lahir dari suatu keadaan politik tertentu, dan menjadi cerminan dari pemerintahan saat ini

“Proses pembuatannyapun ugal-ugalan karena ingin cepat sampai, segala cara dihalalkan supaya undang-undang ini cepat ada. Buahnya adalah ini, karena memang dalam proses legislasi dalam sepanjang sejarah indonesia, ini yang paling buruk” Pungkasnya

Sementara di sektor agraria, Suhari mencatat berbagai implementasi kebijakan turunan UU Cipta Kerja semakin memperburuk keadaan, petani, nelayan dan masyarakat adat.

“Lahirnya Bank Tanah yang merupakan turunan UU Cipta Kerja telah meningkatkan eskalasi konflik agraria. Kementerian ATR/BPN menyatakan bahwa luas aset tanah dari Bank Tanah sudah mencapai 10.961 hektar di tahun 2023. Penetapan lokasi dilakukan secara sepihak tanpa melihat kondisi eksisting di lapangan membuat konflik semakin meluas”

Lebih lanjut pria yang masih bekerja di Batam ini mengatakan UU Cipta kerja juga meningkatkan ancaman penggusuran dan perampasan tanah atas nama Proyek Strategis Nasional .

“Berbagai kemudahan proses pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur melalui turunan dari UU Cipta Kerja telah meningkatkan eskalasi penggusuran dan perampasan tanah di lapangan dengan dalih proyek strategis nasional. Rakyat harus bersatu melawan ini semua, karena biangnya adalah UU cipta kerja ini” Ucapnya

Sementara di sektor Lingkungan Suhari mengatakan selain memperlemah penegakan hukum dan menghilangkan tanggung jawab negara untuk melindungi batas minimal 30% Kawasan hutan, Undang-Undang Cipta Kerja juga mereduksi makna AMDAL. Dalam Undang-Undang Cipta Kerja, dokumen AMDAL merupakan dasar uji kelayakan lingkungan hidup untuk rencana usaha dan/atau kegiatan. Ketentuan ini mereduksi makna AMDAL yang sebelumnya merupakan dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan.

“Parahnya lagi dalam pasal 162 UU Cipta Kerja juga mengafirmasi pasal 162 di Undang-Undang Mineral batu bara yang sering dipakai oleh aparat penegak hukum dan korporasi untuk mengkriminalisasi rakyat yang mempertahankan wilayah kelolanya dari ancaman aktivitas pertambangan” Pungkasnya

Pos terkait