Inilah Alasan Kenapa Buruh di Semarang Meminta Kenaikan UMK 2021 Sebesar 3,39 Juta

Semarang, KP Online – Dalam Rapat Pleno Dewan Pengupahan Kota Semarang yang berlangsung pada hari Rabu (23/9/2020) yang bertempat di Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kota Semarang, Dewan Pengupahan Kota Semarang dari unsur SP / SB menyampaikan usulan UMK Kota Semarang sebesar Rp. 3.395.930,68.

Menurut keterangan dari Ahmad Zainudin salah seorang anggota Dewan Pengupahan Kota dari unsur SP / SB, nilai sebesar itu didapatkan dengan menghitung prediksi Komponen Hidup Layak (KHL) bulan Desember tahun 2020 ditambah dengan kebutuhan tambahan wajib buruh saat pandemi Covid-19.

“Jadi nilai tersebut didapat dengan memprediksikan KHL bulan Desember 2020 setelah Dewan Pengupahan Kota Semarang dari unsur SP / SB yang didampingi anggota Lembaga Kerjasama Tripartit Kota Semarang, Aliansi GERBANG bersama dengan anggota Komisi D DPRD Kota Semarang yang dilaksanakan pada bulan Juli dan Agustus tahun 2020 di 5 pasar besar di kota Semarang yaitu Pasar Mangkang, Pasar Karangayu, Pasar Pedurungan, Pasar Langgar dan Pasar Jatingaleh”, terangnya.
“Kemudian setelah itu kita tambahkan lagi dengan kebutuhan tambahan wajib buruh yang harus disediakan, agar buruh dapat melaksanakan pekerjaannya dengan protokol kesehatan yang ketat seperti kebutuhan akan masker, hand sanitizer, sabun cuci tangan, vitamin C, biaya daring, dan disinfektan”, lanjutnya kemudian.

Selain itu Dewan Pengupahan Kota Semarang dalam mengajukan usulan tersebut dengan didasarkan pada :
1. Konsep “memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagaimana dalam alenia IV Pembukaan UUD 1945 tidak boleh diadu dengan keberlanjutan usaha. Terdapat banyak faktor keberlanjutan usaha tersebut tidak terjadi antara lain, menahan modal dan dialihkan sebagai tabungan, pertikaian antar pemilik modal, kesalahan pemasaran, kebijakan “bakar uang” perusahaan, dan lain sebagainya. Dalam hal ini buruh sama sekali tidak melakukan kesalahan sehingga sangat ironis apabila harus dikorbankan.
2. UU No. 13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan jelas mengatur bagaimana upah minimum didasarkan pada KHL. Bukan atas pertumbuhan inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional.
3. PP 78 tahun 2015 yang mengatur tentang Upah Minimum dimana persentase kenaikan Upah Minimum adalah penjumlahan dari persentase pertumbuhan ekonomi nasional ditambah dengan persentase inflasi nasional perlu dievaluasi bahkan tidak dapat diterapkan tahun ini. Dengan pertumbuhan nasional yang minus dan inflasi yang sangat kecil memunculkan ketidaksesuaian dengan kondisi lapangan yang sebenarnya.
Kesenjangan upah antar daerah semakin jauh karena sangat bergantung dengan upah minimum saat take off dengan pesawat PP 78 tahun 2015 dimana run awaynya dengan kebijakan masing-masing kepala daerah yang mengusulkan dan menetapkan.
Secara konstitusi upaya memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa belum apa-apa sudah dibatasi. Padahal pemerintah daerah juga memiliki hak untuk membuat kebijakan sosial ekonomi yang berkaitan dengan sektor ketenagakerjaan.
4. Penyimpangan selisih inflasi nasional dengan naiknya harga-harga kebutuhan dalam item KHL buruh sebagaimana yang disurvey dapat dijelaskan karena adanya perbedaan item yang dihitung untuk inflasi dengan item KHL
5. Situasi pandemi Covid-19 memuculkan aturan-aturan baru baik dari pemerintah atau Gugus Tugas (sekarang menjadi Satgas Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi) kemudian diturunkan menjadi himbauan bahkan sanksi. Demikian juga adaptasi kebiasaan baru yang menjadi budaya baru. Kesemuanya itu memunculkan kebutuhan-kebutuhan wajib tambahan yang menjadi bagian dari kebutuhan buruh.

Sementara itu dari pihak Apindo sendiri dalam rapat pleno tersebut mengusulkan kenaikan UMK Kota Semarang sebesar 0% atau tidak ada kenaikan sama sekali atas besaran UMK Kota Semarang Tahun 2021 atau dengan kata lain masih menggunakan UMK Tahun 2020 sebesar Rp. 2.715.000,-. Alasannya adalah demi mempertahankan kelangsungan usaha dan pekerjanya akibat pandemi Covid-19 agar tidak semakin terpuruk, bahkan pada triwulan II tahun 2020 Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Nasional mencapai angka -5,32% sehingga banyak perusahaan yang harus merestrukturisasi kreditnya dan tidak sedikit pula yang gulung tikar atau tutup. (sup)