Halmahera,KPonline – Dugaan praktik “pembegalan demokrasi” mencuat dalam Pilkada Halmahera Tengah 2024. Mantan Penjabat Bupati Halmahera Tengah, Ikram Malan Sangaji, menjadi sorotan setelah pasangan calon bupati dan wakil bupati, Edi Lankara dan Abd Rahim Odeyani, mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam sidang pendahuluan yang digelar pada 13 Januari 2025 di Gedung MK, pengacara pemohon, Arteria Dahlan, mengungkapkan adanya konspirasi politik antara Ikram Malan Sangaji dengan oligarki dan pemilik modal. “Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Halmahera Tengah 2024 telah berubah menjadi arena perebutan kekuasaan yang didominasi oleh segelintir orang demi kepentingan oligarki tambang,” ujar Arteria di hadapan Majelis Hakim Panel 2 yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra.
Ikram, yang sebelumnya menjabat sebagai Asisten Deputi di Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, disebut-sebut sebagai “orang pusat” yang mendapat misi khusus. Selaku Penjabat Bupati, Ikram diduga telah mengubah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) secara sepihak tanpa persetujuan DPRD. Lebih jauh, ia juga dituding menggunakan anggaran daerah untuk kampanye terselubung guna mendukung pasangan calon tertentu.
Selain itu, Ikram menerbitkan keputusan yang mencabut status Geosite Boki Maruru sebagai prioritas pengembangan Geopark Halmahera Tengah. Keputusan ini membuka lahan tambang seluas 4.300 hektar untuk eksploitasi nikel dan batu gamping oleh perusahaan yang memiliki hubungan langsung dengannya.
Menanggapi hal ini, Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia, Irwansyah, MA, menilai tindakan Ikram melanggar kewenangan. “Penandatanganan APBD sebelum pelantikan sebagai penjabat bupati sudah jelas melanggar tata kelola pemerintahan yang baik,” ujarnya. Irwansyah juga menilai pengalihan fungsi Geosite ke tambang merupakan agenda oligarki tambang yang harus ditolak oleh masyarakat.
Irwansyah menegaskan bahwa praktik semacam ini membahayakan demokrasi. “Dampaknya adalah penyalahgunaan kekuasaan, mirip dengan tuduhan yang dilayangkan pada Presiden Jokowi oleh Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP). Ini patut dicurigai sebagai bagian dari operasi politik korup,” tutupnya.