Jakarta, KPonline – Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan putusan bebas kepada Septia Dwi Pertiwi, mantan karyawan PT Hive Five, dalam kasus dugaan pencemaran nama baik terhadap Jhon LBF, Rabu (22/1). Keputusan ini menjadi tonggak penting dalam perjuangan buruh melawan ketidakadilan di tempat kerja.
Ketua majelis hakim Saptono menyatakan bahwa Septia tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah atas dakwaan yang diajukan jaksa penuntut umum. Hakim juga memerintahkan pemulihan hak-hak Septia, termasuk harkat dan martabatnya.
Kasus ini bermula ketika Septia, mantan staf marketing PT Hive Five, mengungkapkan pengalamannya bekerja di bawah tekanan. Dalam persidangan, Jhon LBF mengakui beberapa pelanggaran ketenagakerjaan, termasuk pembayaran upah di bawah UMP, tidak memberikan upah lembur, dan ancaman pemotongan gaji. Septia yang merasa dizalimi kemudian mengekspresikan kekecewaannya melalui akun media sosialnya, yang kemudian dianggap mencemarkan nama baik Jhon LBF.
Pada Desember 2024, Septia dituntut satu tahun penjara dan denda Rp50 juta berdasarkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Namun, dalam fakta persidangan, terungkap bahwa postingan tersebut didasari oleh pengalaman langsung yang mencerminkan ketidakadilan yang dialaminya.
Dukungan KSPI untuk Kebebasan Septia
Wakil Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Kahar S. Cahyono, menyambut keputusan ini dengan penuh rasa syukur. “Putusan bebas ini adalah simbol kekuatan dan keteguhan solidaritas dalam perjuangan buruh di Indonesia,” ujar Kahar.
Ia menambahkan bahwa keberanian Septia dalam menghadapi proses hukum yang berat menjadi inspirasi bagi buruh lainnya. “Keputusan ini menegaskan bahwa hukum harus melindungi, bukan menjadi alat untuk membungkam suara pekerja,” tegasnya.
Keputusan bebas ini menjadi pengingat bahwa pekerja memiliki hak untuk bersuara, terutama saat menghadapi ketidakadilan di tempat kerja. KSPI melihat kemenangan ini sebagai langkah maju dalam melawan kriminalisasi suara pekerja.
“Semoga kemenangan Septia menjadi inspirasi bagi pekerja lainnya untuk tetap teguh memperjuangkan hak dan keadilan di tempat kerja,” kata Kahar.
Keputusan ini menandai kemenangan tidak hanya bagi Septia, tetapi juga bagi seluruh buruh Indonesia yang terus berjuang untuk hak dan keadilan di dunia kerja.
Lebih lanjut, KSPI menyerukan agar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dicabut. Bagaimana pun, UU ini telah lama menjadi sorotan karena pasal-pasalnya yang dianggap sebagai “pasal karet”. Pasal tentang pencemaran nama baik sering kali digunakan untuk membungkam kritik, membatasi kebebasan berekspresi, dan bahkan mengkriminalisasi suara rakyat yang sah. Ini tidak hanya mengancam hak-hak dasar warga negara, tetapi juga menimbulkan ketakutan di masyarakat.
Dalam banyak kasus, UU ITE telah disalahgunakan untuk melindungi kepentingan pihak-pihak yang berkuasa. Mereka yang berani menyuarakan ketidakadilan, termasuk pekerja, aktivis, dan jurnalis, kerap menjadi korban jeratan hukum. Pasal-pasal ini sangat subjektif dalam penafsirannya, sehingga rawan digunakan sebagai alat penindasan, bukan penegakan keadilan.
Penghapusan pasal-pasal bermasalah dalam UU ITE adalah langkah penting untuk melindungi kebebasan berekspresi yang dijamin oleh UUD 1945. Pemerintah harus segera mencabut UU ini demi menciptakan iklim demokrasi yang sehat dan memastikan bahwa hukum tidak menjadi alat kriminalisasi.
Jika UU ITE terus dipertahankan tanpa perubahan, ancaman terhadap kebebasan rakyat akan semakin besar. Sudah waktunya Indonesia melangkah maju dengan hukum yang melindungi, bukan mengekang.