Hai Buruh, Seberapa Penting Aksi Bagi Kamu?

Bogor, KPonline – Ya, kamu ! Kamu yang sedang membaca tulisan ini ! Seberapa penting sih, sebuah aksi demonstrasi atau aksi unjuk rasa kaum buruh, disaat-saat seperti ini ? Di saat pandemi Covid-19 masih menjadi momok menakutkan bagi sebagian orang. Tapi di sisi lain, momok menakutkan pandemi Covid-19, hanya dianggap “angin lalu” bagi sebagian lainnya.

Coba kalian jawab, lebih menakutkan mana antara tertular virus Corona dengan rasa lapar, karena upah kalian dipangkas oleh pihak perusahaan dengan alasan pandemi Covid-19 dimana-mana ? Saya yakin, akan ada beribu-ribu buruh yang lebih memilih ikut aksi menuntut perbaikan upah dan kesejahteraan mereka, ketimbang harus lebih khawatir dengan masalah kesehatan. Karena ada tanggung jawab moral yang begitu besar, yang harus dipikul oleh buruh-buruh tersebut. Anak-anak mereka, istri yang harus rela tidak membeli peralatan kecantikan dan make up lainnya, karena harus mendahulukan membeli beras, tempe, tahu, cabai dan bawang, yang harganya fluktuatif setiap harinya.

Bacaan Lainnya

Tentu saja, buruh-buruh yang dipangkas atau dipotong upahnya sejak April 2020 yang lalu meradang dan tidak tahu harus berbuat apa. Khawatir, kesal, gundah gulana melanda di setiap malam, karena tagihan listrik melonjak tajam, tanpa bisa berharap banyak pihak PLN akan memberikan keringanan tagihan.

Wajar saja, jika buruh-buruh yang belum mendapatkan penyesuaian upah di tahun 2020 ini, harus kembali turun ke jalan untuk menyuarakan jeritan-jeritan anak-anak dan istri mereka dirumah. Karena dengan aksi turun ke jalan, setidaknya, buruh-buruh tersebut dapat mengekspresikan kesedihan, kejengkelan dan hal-hal yang mengganjal lainnya, yang sedang mereka rasakan saat ini.

Konsep, Lobby, Aksi dan Politik, merupakan jargon yang sudah seharusnya dilaksanakan oleh kaum buruh dalam hal yang berhubungan dengan persoalan-persoalan perburuhan. Meredupnya aksi-aksi buruh, setidaknya mengindikasikan bahwa pergerakan kaum buruh di masa-masa rezim Jokowi, berada di fase yang mengkhawatirkan. Karena sejak aksi 30 Oktober 2015, pergerakan kaum buruh dalam melawan PP 78/2015, sudah semakin meredup dan terus meredup.

Entah karena kaum buruh sudah mulai berubah menjadi “kaum rebahan” atau “kaum umbi-umbian”. Tapi yang pasti, jangan sampai, api perlawanan kaum buruh dalam menghadapi penindasan korporasi hitam dan birokrat-birokrat brengsek itu harus redup lalu padam. Karena bagaimana pun juga, api perlawanan itu harus kita jaga, apa pun resikonya, apa pun konsekwensi yang harus kita terima.

Jadi, kapan kita aksi lagi ? Atau malah mau jadi “kaum rebahan” dan “kaum umbi-umbian” saja ? Ya, kamu ! Kamu yang sedang membaca tulisan ini ! (RDW)

Pos terkait