GEBRAK Serukan #LockdownPabrik Demi Lindungi Nyawa Buruh

Jakarta, KPonline – Gerakan Buruh bersama Rakyat (GEBRAK) mengkritik keras kebijakan pemerintah dalam menanggulangi krisis Covid-19 pada aspek kesehatan maupun sosial-ekonomi karena justru membuat kelas buruh Indonesia menjadi tumbal dalam situasi hari ini.

Pada aspek kesehatan, pemerintah telah lalai dalam mencegah dan menanggulangi krisis Covid-19. Alih-alih menyiapkan tenaga medis, fasilitas kesehatan, dan obat-obatan, Presiden Joko Widodo justru memilih menggencarkan upaya pemiskinan kelas buruh lewat omnibus law RUU Cipta Kerja (Cilaka) pada awal tahun ini. Akibat kelalaian pemerintah, rata-rata tingkat kematian akibat Covid-19 di Indonesia termasuk tertinggi di dunia yaitu antara 7-9 persen.

Bacaan Lainnya

Untuk memutus rantai penularan Covid-19, GEBRAK mendesak pemerintah segera memberlakukan karantina wilayah sesuai Undang-undang No 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan terhadap sejumlah daerah dan memaksimalkan pelayanan kesehatan bagi pasien positif. Selain itu, karantina wilayah juga merupakan antisipasi untuk menyelamatkan rakyat tani di desa agar tetap dapat memproduksi kebutuhan pangan. Dengan pemberlakuan karantina wilayah, pemerintah harus menjamin kebutuhan dasar yang mudah dijangkau masyarakat dan memastikan tidak ada diskriminasi sosial selama proses berlangsung.

Pada aspek sosial-ekonomi, GEBRAK mencatat lima kondisi mengkhawatirkan yang sedang dan akan dihadapi kelas buruh Indonesia selama krisis Covid-19 ini:

Resiko tinggi terinfeksi Covid-19 akibat kelangkaan alat pelindung diri.

GEBRAK mengapresiasi perjuangan para tenaga medis merawat ribuan pasien Covid-19. Terlebih, hingga Sabtu (28/3), setidaknya ada sembilan dokter meninggal dan di Jakarta setidaknya 61 tenaga medis terinfeksi Covid-19. Kegagalan pemerintah menyediakan alat pelindung diri bagi mereka merupakan salah satu penyebab utama tingginya tingkat penularan yang dialami tenaga medis. Di saat bersamaan rakyat kesulitan memperoleh masker ataupun handsanitizer di pasaran akibat ulah para spekulan yang mengeruk keuntungan dalam situasi penuh keprihatinan ini.

Di banyak pabrik, buruh dipaksa bekerja seperti biasa tanpa diberikan perlindungan diri dari ancaman terpapar Covid-19. Hingga hari ini GEBRAK tidak melihat ada upaya tegas pemerintah terhadap perusahaan yang mengabaikan keselamatan buruh-buruhnya selama krisis Covid-19 ini.

Oleh karena itu, GEBRAK menyerukan kepada seluruh buruh agar melakukan tekanan kepada perusahaan agar mengurangi proses produksi untuk mengurangi resiko penularan Covid-19 dengan tetap membayar penuh hak buruh. “Jika proses produksi tetap berjalan tanpa ada perlindungan kesehatan, GEBRAK menyerukan kepada seluruh buruh agar melakukan #LockdownPabrik sesegera mungkin. Sementara bagi sektor strategis dan esensial, negara harus menjamin dijalankannya protokol kesehatan secara ketat di perusahaan demi melindungi kesehatan para buruh seperti alat pelindung diri, hand sanitizer, management physical distancing, perbaikan gizi, vitamin, serta pemberian insentif tambahan,” kata Ketua Umum Konfederasi Aliansi Buruh Seluruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos.

Massifnya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat krisis Covid-19.

Sektor industri padat karya yang berorientasi ekspor seperti garmen, tekstil dan alas kaki mulai melakukan PHK seiring dengan menurunnya permintaan akibat dari Eropa dan Amerika. Begitu juga di sektor-sektor industri lainnya.

“Namun, hingga saat ini tidak ada kebijakan pemerintah yang menjamin kelas buruh Indonesia terhindar dari ancaman kehilangan pekerjaan. Insentif-insentif ekonomi yang diberikan tidak akan menghentikan gelombang PHK yang terjadi. Sementara skema insentif lewat Kartu Prakerja juga diragukan efektifitasnya mengingat dampak pekerja ter-PHK akan jauh lebih besar dari cakupan bantuan ini,” jelas Ilhamsyah yang merupakan Ketua Umum Konfederasi Persatuan Buruh Seluruh Indonesia (KPBI).

Oleh karena itu, GEBRAK mendesak pemerintah memberikan jaminan agar tidak ada PHK selama krisis Covid-19. Adapun praktik PHK yang sedang terjadi harus dinyatakan ilegal.

Pemotongan upah dan cuti sewenang-wenang dengan dalih krisis Covid-19.

Ironisnya, pemerintah justru melindungi pengusaha dengan membuka peluang terjadinya pemotongan upah lewat Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19. Surat edaran itu mengizinkan adanya perubahan besaran dan waktu pembayaran upah sesuai kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh yang pada kenyataannya hanya dimaknai sebagai “pemaksaan keinginan pengusaha dan buruh harus menerimanya” karena posisi tawar yang tidak seimbang antara pengusaha dengan buruh.

“Buruh kembali dikorbankan dalam menanggung dampak perlambatan ekonomi. Padahal berbagai stimulus dan kemudahan telah diberikan oleh pemerintah kepada pengusaha sejak Paket Kebijakan Ekonomi 2015, keringanan pajak hingga stimulus ekonomi dalam masa krisis Covid-19. Semua kebijakan tampaknya hanya memberikan manfaat bagi pengusaha namun tidak memberi manfaat bagi kaum buruh,” ungkap Ketua Nasional Konfederasi Serikat Nasional (KSN) Hermawan Hari Sutantyo.

Oleh karena itu, GEBRAK mendesak Kementerian Ketenagakerjaan mencabut Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19 yang merugikan buruh dan bertentangan dengan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pemerintah harus menyatakan segala bentuk pengurangan hak ketenagakerjaan dalam krisis Covid-19 sebagai tindakan ilegal.

Pekerja lepas kesulitan bertahan hidup akibat hilangnya pekerjaan.

Mereka yang diupah harian, bekerja dalam kontrak singkat, dan sering kali dibayar murah kini dalam kondisi frustasi akibat hilangnya pekerjaan untuk mereka.

Dalam posko aduan Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) hingga 25 Maret, tercatat ada lebih dari 110 pekerja lepas yang kehilangan pekerjaan akibat krisis Covid-19 ini. “Mereka dalam kondisi sulit karena tetap harus membayar tagihan dan kebutuhan pokok sementara tidak ada pekerjaan. Para pekerja lepas berharap ada kebijakan yang membela mereka dalam kondisi krisis ini,” ungkap Ketua Pengurus Harian SINDIKASI Ellena Ekarahendy.

Oleh karena itu, GEBRAK mendesak pemerintah agar mengeluarkan kebijakan insentif untuk mengurangi beban pekerja harian, berpenghasilan rendah, dan korban PHK. Insentif tersebut dapat berupa pembebasan tagihan listrik, gas, air bersih, iuran BPJS Kesehatan, iuran BPJS Ketenagakerjaan, relaksasi kredit pemilikan rumah (KPR), dan kredit pemilik kendaraan.

Ancaman penghancuran hidup kelas buruh lewat pembahasan omnibus law RUU Cilaka.

Dalam kondisi segenting ini, pemerintah dan DPR seharusnya memusatkan seluruh perhatian pada penanganan Covid-19 dan dampak buruknya bagi aspek sosial ekonomi masyarakat. Namun DPR mewacanakan untuk membahas omnibus law RUU Cilaka pada pembukaan masa sidang, Senin (30/3).

“Rencana ini harus dibatalkan apalagi jika partisipasi masyarakat ditiadakan dengan memaksakan pembahasan dilakukan melalui cara virtual. Jika DPR dan pemerintah terus memaksakan rencana jahat ini maka buruh siap turun ke jalan untuk menentangnya,” tutup Ketua Umum Sentral Gerakan Buruh Nasional (SGBN) Muhammad Yahya.

Pos terkait