Ego Sektoral

Bogor, KPonline – Ketika kita bicara sektoral, maka egoisme kita akan dikedepankan. Manusiawi memang. Akan tetapi, menjadi tidak manusiawi jika sudah menyangkut masalah kemanusiaan. Sebut saja disparitas mengenai Upah Minimum Kabupaten/Kota dengan Upah Minimum Sektorak Kabupaten/Kota.

Buruh-buruh yang dalam pengupahannya masih menggunakan UMK, secara sadar atau tidak, akan merasa rendah diri ketika berhadapan dalam bincang-bincang dengan buruh-buruh yang sudah menggunakan UMSK. Ada rasa kurang percaya diri. Kurang pede gitu. Pun meski tidak disebutkan secara terang-terangan, ke-pede-an buruh-buruh yang sudah menggunakan UMSK akan sedikit nampak dari gaya bicaranya, ketika membicarakan soal upah.

Bacaan Lainnya

Disparitas ini pun, seringkali berujung pada ketidak kompakan dalam pergerakan. Buruh-buruh yang sudah menggunakan UMSK, acap kali berkomentar miring kepada rekan-rekan yang sesama buruh mengenai aksi bela UMK. Memang tidak “nyaring” suara mereka, hanya berbisik dan kadang hanya melalui lirikan mata dan sungging senyum yang dipaksakan.

Ego sektoral tidak hanya membuat jurang pemisah dalam hal pengupahan saja. Bisa saja terjadi, jika sudah bicara sektor industri yang digeluti oleh perusahaan dimana buruh-buruh itu bekerja. UMSK kelompok 1, jelas berbeda dengan UMSK kelompok 2 atau kelompok 3. Karena sektor industri yang mereka geluti pun berbeda. Sehingga dalam soal upah pun dibedakan, dari hasil produksinya atau pun resiko pekerjaan yang mereka hadapi. Wajar ? Boleh saja. Asalkan persoalan perbedaan upah tidak menjadi pemicu, terpecahnya persatuan, kesatuan, kekompakan dan kesolidan kaum buruh.

Jika sudah bicara sektor industri, ego sektoral pun akan terasa lebih kental. Bukan dalam hal kebencian satu sektor terhadap sektor lainnya. Akan tetapi, jika sudah bicara sektor industri yang digeluti, jelas akan muncul disparitas yang seperti sudah dibicarakan diatas. Upah, tunjangan bahkan fasilitas antara sektor industri yang satu dengan sektor industri lainnya, hampir bisa dipastikan, akan ada perbedaan.

Misalnya saja, sektor industri otomotif dan sektor industri garmen dan tekstil. Kedua contoh sektor industri tersebut, sangat kental perbedaannya. Dari soal upah, tunjangan dan fasilitas, seringkali diibaratkan seperti langit dan bumi. Rendah dan tinggi, kelas pinggiran dan kelas eksekutif. Memang jauh berbeda, akan tetapi jangan jadikan hal-hal tersebut sebagai hambatan dalam menjalin kekompakan dan kesolidan kaum buruh didalam pergerakan dan perjuangan.

Dalam hal aksi massa, buruh-buruh yang bekerja di pabrik-pabrik, lebih sering melakukan demonstrasi atau aksi unjuk rasa, ketimbang buruh-buruh kerah putih yang bekerja di perkantoran. Padahal, dalam hal upah, tunjangan dan fasilitas bisa diadu dan dikomparasikan. Ada banyak pabrik-pabrik yang upahnya, tunjangannya dan fasilitas-fasilitasnya melebihi perusahaan yang berada kantor-kantor atau pusat perkantoran bergengsi.

Yup, buruh-buruh perkantoran merasa gengsi jika harus berpanas-panasan turun ke jalan, bersama buruh-buruh pabrik. Buruh-buruh perkantoran merasa enggan, jika harus bersama dan bergandengan tangan dengan buruh-buruh pabrik yang baju kotor, yang sedikit terkena noda oli dan keringat. Salah satu hal yang membuat terjadinya jurang pemisah dan disparitas antara buruh yang satu dengan buruh yang lainnya, ternyata bukan hanya upah, tunjangan dan fasilitas. Faktor gengsi, juga bisa membuat jurang pemisah tersebut akan semakin lebar. Gengsi juga bisa membuat disparitas, dan semakin membuat jarak yang jauh, antara buruh sektor yang satu dengan buruh sektor yang lainnya.

Ego sektoral, mungkin saja bisa membuat jurang pemisah, antara buruh yang satu dengan buruh yang lainnya. Akan tetapi, gengsi sektoral lebih berbahaya bagi pergerakan dan perjuangan kaum buruh kedepannya. (RDW)

Pos terkait