Menyendiri

Jakarta, KPonline – Manusia adalah makhluk sosial. Tak bisa hidup seorang diri.

Keinginan untuk bersosialisasi dengan yang lain sangatlah manusiawi. Bahkan menjadi semacam kebutuhan yang harus terpenuhi.

Seperti yang digambarkan dalam pepatah. Kebersamaan akan menguatkan, sedang perpecahan akan melemahkan. Menuju kehancuran.

Dalam kaitan dengan itu, berserikat musti kita maknai sebagai upaya untuk merajut kebersamaan. Dengan bersama-sama, ada banyak hal yang bisa kita kerjakan. Banyak capaian yang kita dapatkan.

Beberapa tahun lalu, bersama dengan beberapa kawan saya menulis buku antologi. Judulnya, Bermartabat karena Serikat.

Buku ini berisi kisah-kisah nyata tentang bagaimana serikat pekerja bisa membuat kehidupan kaum buruh menjadi lebih baik. Sesuatu yang tak mungkin terjadi, jika itu hanya dilakukan seorang diri.

Tetapi, memang, ada orang-orang yang memilih hidup di jalan sunyi. Mereka meninggalkan hiruk pikuk kehidupan dunia dengan masuk ke hutan belantara. Tinggal di dalam gua atau di atas pohon agar bisa menyatu dengan semesta. Menyendiri.

“Biarlah dunia rusak, asal aku tidak.” Begitu kira-kira jalan pikirannya.

Tetapi ada juga yang menggantang badai. Bertarung dengan sepenuh daya, untuk mencegah agar kerusakan yang lebih besar tidak terjadi.

Orang-orang ini, memilih berhadap-hadapan. Kehidupan adalah palagan. Tempat pertarungan.

Ibaratnya, mereka masuk ke tempat perjudian. Bukan untuk ikut berjudi. Tetapi untuk menasehati agar orang-orang di sana tidak melanjutkan perjudian. Meski dengan resiko, di dalam sana, dianggap ikut-ikutan berjudi.

Jika pilihan pertama yang kita ambil, menjauh dan tidak terlibat dalam proses perubahan, kita memang tidak akan kena getahnya. Seolah-olah bersih.

Bahkan dengan jumawa bisa cuci tangan dan mengatakan bahwa apa yang terjadi di luar sana bukan tanggungjawab kita.

Enaknya, kita pun bisa saja ikut menyalahkan. Tuh kan, dibilang juga apa. Coba kalau ikut dengan kami, nggak bakal tuh kejadian…

Tetapi ada satu hal yang harus kita pahami. Setiap manusia memiliki kewajiban untuk mencegah agar hal-hal buruk tidak terjadi.

Itulah jalan hidup para pejuang. Mereka tidak pernah berfikir untuk menarik diri ke tempat sunyi. Sebaliknya, mereka justru memilih maju ke hadapan, berjuang dengan segenap kemampuan, kalah-menang urusan belakang.

Seringkali kebaikan itu kalah bukan karena penjahat lebih kuat. Kebaikan itu kalah karena orang-orang baik memilih diam dan mendiamkan ketika kejahatan beraksi.