Medan,KPonline -Covid-19 adalah horor bagi kita, semua orang merasa ketakutan karena hingga sekarang belum ada vaksin nya. Dan dapat dikatakan yang paling menderita diantara semua adalah petugas medis. Dimana diantara mereka sudah ada yang tak bertemu dengan keluarga selama dua bulan. Hidup mereka rentan dan seperti terisolir. Tampak dalam pelbagai berita dikabarkan sebagian dari mereka justru menjadi korban wabah, hingga meninggal dunia.
Berangkat dari berita berita itu mengingatkan saya dengan dua tokoh revolusi yang asalnya dari dunia medis. Saya akan mulai cerita pada pertama kali ia menjadi relawan wabah.
Pada tahun 1951, ia melakukan perjalanan sepeda motor sejauh 8.000 kilometer di sebagian besar wilayah Amerika Selatan bersama temannya, Alberto Granado, dengan tujuan akhir adalah menjadi sukarelawan di koloni lepra San Pablo di Peru selama beberapa minggu.
Begitulah Che Guevara, ia begitu bersemangat ikut memerangi wabah, meskipun jauh dari kediamannya di Argentina dan tentunya ia juga rentan tertular.
Dalam diary nya yang berjudul “The Motorcycle Diaries” ia menceritakan banyak hal, tentang perjumpaannya dengan kemiskinan dan pesakitan yang tak terurus akibat koloni pada masa itu.
Saat diary itu ditulis, umurnya baru 24 tahun, belum menjadi pemimpin gerilyawan revolusioner yang inspiratif.
Namun semangat akan nilai nilai kemanusiaan sudah demikian besar berkembang dalam dirinya. Dan disana pula ia menemukan persahabatan yang berkesan di koloni pesakitan lepra.
Dalam kisah itu dituliskan betapa ia meninggalkan pesta ulang tahunnya hanya demi ingin berbagi dengan mereka yang di isolasi dalam koloni. Yang lebih hebatnya lagi ia menemui para sahabatnya itu dengan berenang di arus deras pada malam hari, padahal semua tahu ia adalah pengidap asma akut. “Bentuk solidaritas dan kesetiaan manusia yang tertinggi muncul di antara orang-orang yang kesepian dan putus asa.”
Demikian ia mengambil kesimpulan tentang pengalamannya disana. Kelak semangat kemanusiaannya itu ia tularkan kepada para dokter pejuang revolusi di Kuba.
Puluhan tahun sebelumnya, Indonesia yang pada saat itu bernama Hindia Belanda, sudah dianugerahi tokoh pergerakan yang juga sangat menjujung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Dr Cipto Mangunkusumo, seorang priyai yang kritis, aktif sebagai komisioner Boedi Utomo, rela meninggalkan tugas-tugas nya yang prestise demi memanggul tugas “lama” sebagai dokter guna merawat korban-korban penyakit sampar di Jawa Timur.
Wabah yang demikian mengkhawatirkan itu belum ada tanda-tanda teratasi. Dokter dokter Belanda pada saat itu lebih banyak menghindar karena rasa takut akan tertular, jikapun mereka bersedia turun, maka hanya membantu pesakitan sebangsanya. Cipto lah yang maju terdepan menjadi relawan pertama yang terjun langsung ketengah masyarakat terdampak. Tak ada rasa takut dihatinya untuk memutus rantai penularan dan melakukan tindakan medis untuk penyembuhan.
Ditengah momok yang menyapu berbagai kalangan waktu itu, Cipto bagaikan sejumput suluh ditengah gulita. Dengan heroik ia menjadi harapan baru bagi mereka yang telah mengambil jalan “pasrah” sebagai solusi. Dan akhirnya wabah sampar dapat teratasi.
Cipto kembali kehabitatnya sebagai konseptor yang kritis, bahkan sepulang dari Jawa Timur ia semakin radikal dengan membentuk Indische Partij bersama Ki Hajar Dewantara dan Douwes Dekker yang kelak menjadi inspirasi anak anak muda revolusioner setelah mereka.
Demikianlah dapat kita ambil kesimpulan, betapa sikap kritis dan berani mengorbankan diri sendiri itu muncul dari rasa kemanusiaan yang tinggi.
Tulisan ini di dedikasikan untuk para pejuang medis yang sedang bertempur melawan covid 19.
Nurfadli