Dibalik Senyum, Ada Luka yang Tidak Terlihat

Dibalik Senyum, Ada Luka yang Tidak Terlihat
Foto ilustrasi by Google

Pagi belum selesai membuka matanya, tapi derap langkah kaki sudah memenuhi jalanan. Seragam disetrika rapi, sepatu disemir hingga mengilap, wajah dipoles senyum yang dipaksa. Tapi di balik penampilan yang teratur itu, ada hati yang remuk oleh jam kerja panjang, oleh target yang menggantung seperti pisau di leher.

Mereka disebut pekerja. Tapi sesungguhnya mereka tawanan. Tawanan sistem yang mengikat tanpa borgol. Tawanan utang yang tak tertulis. Tawanan status yang digantung seperti layang-layang kehilangan angin. Mereka masuk pabrik seperti memasuki penjara tanpa jeruji, yang dijaga pengawas produksi dan absen fingerprint pribadi.

Reni, perempuan tiga puluhan dengan dua anak yang sabar menunggu di rumah kontrakan, sudah bekerja lima tahun di sebuah kantor yang berada di jalan Sudirman-Thamrin. Sampai saat ini statusnya tetap “kontrak”, seakan hidupnya pun hanya sementara di mata perusahaan. Ia tidak punya keberanian menuntut haknya. Karena di ujung sana, ribuan penganggur menunggu di gerbang, siap menggantikan siapa pun yang bersuara terlalu lantang.

“Kalau kamu tidak suka di sini, masih banyak yang mau,” begitu kata atasannya. Dan Budi pun memilih diam. Diam yang panjang. Diam yang mematikan.

Diseberang kota, kembali, seorang perempuan bernama Yuni menyetrika pakaian dari pukul tujuh pagi sampai sepuluh malam. Ia bekerja di rumah seorang pejabat, tanpa kontrak, tanpa cuti, tanpa upah layak. Dimatanya, tuannya adalah segalanya. Karena ia tidak tahu bahwa undang-undang pun sebenarnya berpihak padanya. Tapi ketika hukum terlalu jauh, yang dekat hanyalah rasa takut.

-Takut diusir.
-Takut dipenjara.
-Takut tak bisa makan.

Lalu disudut lain negeri, di ladang-ladang sawit yang luas, ribuan tubuh menghitam oleh matahari dan pupuk kimia. Mereka bekerja bukan karena cinta tanah, tapi karena tak punya pilihan. Jeratan utang kepada agen kerja, biaya alat kerja yang harus dibeli sendiri, bahkan sewa tempat tinggal yang dipotong langsung dari upah.

Setelah dihitung, sisa gajinya hanya cukup untuk membeli beras dan garam. Mewah bila bisa beli telur seminggu sekali.

“Kerja itu ibadah,” kata para pengusaha.
Tapi apakah ibadah harus selalu menyakiti tubuh dan jiwa?

Perbudakan modern adalah iblis yang memakai dasi. Ia tersenyum sopan dalam rapat. Ia membuat kontrak dengan banyak pasal. Ia bicara tentang “efisiensi” dan “produktivitas” sambil memeras tenaga dan menggantung harapan.

Ia tidak menyiksa dengan cambuk, tapi dengan waktu lembur yang tak dibayar.
Ia tidak mengurung dalam penjara, tapi dalam ketakutan di kantor.

Ia tidak merantai kaki, tapi membelenggu dengan janji palsu tentang pengangkatan karyawan tetap yang tak kunjung tiba, tentang bonus yang selalu tertunda,
tentang cuti yang “nanti saja, kalau perusahaan sudah stabil”.

Lalu bagaimana cara membebaskan mereka? Dengan suara. Dengan keberanian. Dengan solidaritas yang mengalir dari satu pekerja ke pekerja lain. Dengan serikat yang tak bisa dibungkam. Dengan hukum yang benar-benar tajam, bukan hanya indah dalam teks.

Sebab jika tak ada yang bersuara, luka ini akan terus membusuk. Dan anak-anak pekerja akan tumbuh menyaksikan orangtuanya mati pelan-pelan. Bukan karena usia, tapi karena kelelahan yang tidak adil.

“Aku kerja untuk hidup,” kata mereka.
Tapi yang terjadi: mereka justru hidup untuk kerja, dan mati tanpa pernah benar-benar hidup.

Malam pun datang.
Pabrik kembali sunyi.
Lampu-lampu mati satu per satu.
Tapi mimpi buruk tak pernah padam.
Sebab esok hari, mereka akan kembali bekerja, seperti biasa.
Dengan senyum yang dipaksa.
Dengan semangat yang dipinjam.
Dengan luka yang terus ditambal oleh harapan palsu yang tak kunjung nyata.