Jakarta, KPonline – Kamis (19/7/2018), saya menghadiri Industrial Relations Tripartite Forum and Workshop: Shapping the Future of Industrial Relations amidst Changing Forms of Employment & Industry Transformations in Indonesia yang diselenggarakan kantor ILO Jakarta.
Ada beberapa hal yang menarik dari pembahasan ini. Salah satunya adalah terkait dengan dampak revolusi industri 4.0 bagi buruh.
Satu hal yang hampir pasti, hubungan industrial akan berubah. Ia mulai bergeser menjadi lebih fleksibel. Beralih ke informal.
Sebagai contoh, seperti yang disampaikan Dirjen PHI dan Jamsos Hayani Rumondang. Di sektor retail, bahkan sudah ada permintaan untuk melakukan penyimpangan jam kerja. Alasannya, saat “jam kerja” retail justru sepi. Tapi saat “jam pulang kerja” dan akhir pekan justru ramai didatangi pembeli. Karena itu butuh jam kerja yang fleksibel. Tidak harus 8 jam kerja per hari atau 40 jam kerja per minggu seperti yang dilakukan saat ini.
Dengan kata lain, saat ada penambahan jam kerja pada saat ramai pengunjung; tidak dihitung lembur. Buruh paling rentan menjadi korban.
Digitalisasi nampaknya akan mengarah ke sana. Bukan saja menciptakan peluang baru, ia juga menghilangkan pekerjaan-pekerjaan yang sudah ada, yang konon tenaga manusia akan digantikan dengan mesin. Dan hampir selalu, buruh yang akan terdampak.
Hampir semua orang mengatakan, jurus menghadapi revolusi industri 4.0 adalah dengan meningkatkan kompetisi. Strateginya menggalakkan pelatihan agar tenaga kerja bisa terserap dalam lapangan kerja yang baru.
Tetapi nyaris tidak pernah didiskusikan — dengan serius — apa solusi bagi mereka yang pekerjaannya hilang akibat tergilas kemajuan teknologi. Diprediksi, pekerjaan-pekerjaan yang akan hilang mayoritas padat karya.
Bahkan ada yang dengan santai mengatakan, itu resiko yang harus dihadapi. Tidak peduli jika untuk sebagian orang hal ini adalah petaka.
Pelatihan memang penting. Pertanyaannya kemudian, apakah lapangan pekerjaan baru yang tersedia dari digitalisasi itu mampu menampung para buruh yang kehilangan pekerjaan?
Pada akhirnya, buruh yang kehilangan pekerjaan di sektor formal akan bekerja di sektor informal. Misalnya menjadi pengemudi ojek online. Ironisnya, di sektor ini pun belum ada perangkat hukum yang melindungi. Kehadiran negara tidak terasa.
Kemudian kita bertanya-tanya, apakah manusia bisa dikalahkan oleh mesin? Tentu saja tidak.
Manusia yang menciptakan mesin. Bukan sebaliknya.
Ironisnya, kini, mesin digunakan untuk menakut-nakuti manusia.
“Jangan minta naik upah terlalu tinggi. Mesin siap menggantikanmu. Dilibasnya kau nanti,” kata-kata ini diulang dimana-mana.
Tapi kita tahu, itu kedok belaka. Pada dasarnya kapitalis memang rakus. Doyan memangsa manusia.
Dalam konteks itu, sudah saatnya serikat buruh mengatakan dengan lebih lantang. Revoluasi industri 4.0 bukan hanya bicara mengenai teknologi. Tetapi juga bicara tentang manusia. Buruh-buruh yang terdampak atas revolusi itu.