Dampak kebijakan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan bagi Pekerja Swasta maupun Pemerintah

Mojokerto, KPonline – (13/12/2019)  Pemberlakuan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, tinggal menghitung hari. Kebijakan yang tertuang dalam Keputusan Presiden No.75 tahun 2019 tentang perubahan Peraturan Presiden No.82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan itu, telah ditandatangani Presiden pada tanggal 24 Oktober 2019 lalu.

Saat ini Pemerintah melalui BPJS Kesehatan tengah gencar melakukan sosialisasi untuk mengantisipasi timbulnya keresahan di masyarakat. Meskipun sewajarnya Kementerian Kesehatan, Kementerian keuangan dan Kementerian dalam negeri juga ikut turun tangan.

Bacaan Lainnya

Dalam sosialisasinya mereka menyatakan bahwa penyesuaian iuran (mereka tidak menyebutkan itu sebagai kenaikan iuran), dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan keberlangsungannya program Jaminan Kesehatan. Sebagaimana bunyi pertimbangan dalam kebijakan tersebut.

Masyarakat umum terutama pekerja, banyak yang menyangka bahwa kebijakan Perpres 75/2019 hanya berdampak pada kenaikan iuran segmen peserta mandiri saja dan tidak berdampak pada kalangan lain.

Penolakan yang dilakukan oleh sebagian pekerja melalui organisasi serikat pekerja, sering kali dianggap salah sasaran dan dipandang sinis oleh sebagian pihak.

Padahal nyatanya kebijakan tersebut berdampak langsung pada segmen peserta​ Pekerja Penerima Upah (PPU) baik Pekerja Swasta maupun Pekerja Pemerintah, sayangnya kebanyakan dari mereka tidak menyadarinya.

Inilah dampak dari kebijakan kenaikan iuran bagi para pekerja baik pekerja swasta maupun pegawai pemerintah.

1. Dalam ketentuannya anggota keluarga PPU yang tertanggung BPJS Kesehatan, berjumlah 4 orang yaitu istri/suami yang sah dan ke tiga anaknya yang sah (termasuk anak kandung dan anak tiri dari perkawinan yang sah atau anak angkat yang sah).

Sedangkan untuk anak ke empat dan seterusnya, harus didaftarkan sendiri dan menjadi peserta mandiri. Begitu juga halnya mereka yang telah berusia lebih dari 21 tahun atau masih menempuh pendidikan formal sampai usia 25 tahun yang menjadi tanggungan si pekerja, serta tanggungan lain seperti orang tua, yaitu ayah, ibu dan mertua.

Meskipun ada kemudahan mendaftarkan melalui pemberi kerja agar anggota keluarga lain yang tertanggung pekerja dapat menjadi peserta BPJS Kesehatan yaitu dengan dipotong 1% dari upahnya, namun faktanya tidak semua pemberi kerja mau menjalankannya. Selain karena tidak adanya kewajiban dan sanksi, berbagai dalih pun dilontarkan, dari mulai ribet, tidak punya petugas khusus, tidak menggunakan E-dabu atau alasan klasik lainnya.

Padahal dengan adanya penambahan tanggungan pekerja yang kemudian menjadi peserta mandiri, sama artinya kenaikan iuran peserta mandiri berdampak pada pekerja, sebab ada potensi menambah pengeluaran pekerja.

Beban pengeluaran akibat kenaikan iuran itu akan semakin bertambah lagi, karena tidak meratanya pendapatan pekerja. Adanya disparitas upah yang tinggi antar daerah, bertolak belakang dengan kenaikan iuran yang dipukul rata untuk seluruh wilayah di Indonesia.

Dapat dicontohkan pada seorang pekerja di Kabupaten Magetan yang bernama Supri, yang dibayar sebesar Upah Minimum tahun 2020 Rp.1.913.000,00 atau naik Rp.150.000,00 dari upah tahun 2019 lalu.

Supri sendiri mempunyai tanggungan seorang istri dengan 3 orang anak dan 2 orang tua dalam satu rumah dan satu KK. Salah satu anak Supri, sudah berusia 22 tahun yang tidak kuliah serta belum bekerja. Sedihnya perusahaan tempat Supri bekerja tidak mau memfasilitasi pendaftaran anggota keluarga lainnya.

Dengan 3 orang yang belum menjadi peserta dan menjadi tanggungan hidupnya, terpaksa Supri mendaftarkan mereka dalam peserta mandiri kelas 3 sebesar 52.000 per orang sesuai kenaikan iuran saat ini.

Setiap bulan Supri harus membayar 156.000, itu sama halnya ia tidak naik upah dan ia dipaksa hidup dengan kebutuhan tahun lalu meskipun ditengah naiknya harga-harga kebutuhan lainnya. Demikiankah konsep gotong royong dalam jaminan sosial?

2. Dampak kebijakan kenaikan iuran ini juga menyasar kepada pekerja penerima upah di pemerintahan atau pegawai negara yaitu Pejabat Negara, Pimpinan dan Anggota DPRD, Pegawai Negeri Sipil, Prajurit dan Anggota Polri.

Memang ada penurunan prosentase iuran yang dibayarkan oleh PPU Pemerintah, dari awalnya 2% turun menjadi 1% dari Gaji/Upah. Namun ada perubahan komponen Gaji/Upah yang dijadikan dasar penghitungan iuran BPJS Kesehatan.

Adapun komponen itu terdiri dari, Upah Pokok, Tunjangan Keluarga, Tunjangan Jabatan atau Tunjangan Umum, Tunjangan Profesi dan Tunjangan Kinerja atau tambahan penghasilan bagi PNS Daerah. Hal ini berbeda dengan Perpres sebelumnya, yang hanya mendasarkan pada pada Upah Pokok dan Tunjangan Keluarga.

Penambahan beberapa komponen tunjangan dalam basis penghitungan iuran ini tentu akan berimbas pada pegawai yang upahnya berbasiskan kinerja, profesi atau tunjangan kompetensi lainnya. Bisa jadi potongan iurannya lebih besar dari tahun sebelumnya.

3. Batasan paling tinggi Gaji/Upah per bulan yang digunakan sebagai dasar perhitungan besaran iuran bagi peserta PPU yaitu sebesar Rp.12.000.000,00 (Dua belas juta rupiah) atau mengalami kenaikan dari Perpres lama yang sebesar Rp.8.000.000,00 (Delapan juta rupiah).

Tidak ada penjelasan resmi, kenapa dan mengapa perubahan nominal tertinggi Gaji/Upah hanya ditetapkan dalam batasan tersebut. Batasan upah tertinggi ini sebenarnya tidak hanya berlaku pada Pekerja swasta saja namun juga untuk pejabat negara dan pegawai pemerintah.

Sungguh tidak adil rasanya, mereka yang mendapatkan upah diatas 12 juta, bahkan tingkat staff ahli, komisaris, manager, spesialis/pakar, anggota dewan dan lainnya, bisa bergaji sampai 20 – 50 juta namun iurannya hanya dipotong berbasiskan upah 12 juta saja. Ingat, 1% dari 12 juta itu hanya 120 ribu rupiah dan untuk membayar iuran 4 orang anggota keluarganya.

Bagi yang Gaji/Upahnya diatas 12 juta, uang 120 ribu seperti nilai uang jajan anaknya dalam satu hari saja. Apakah seperti ini sesuai dengan azas keadilan dan kebersamaan jaminan sosial?

Idiom tidak ada peraturan yang sempurna memang benar, namun kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sudah setidaknya sesuai dengan dasar, filosofi dan tujuannya. Dan sudah menjadi hak masyarakat pula, untuk mengingatkan pemerintah memberikan kritik yang membangun, apabila dalam kebijakan tersebut ada yang salah/kekurangannya.

Jaminan sosial adalah hak rakyat yang diamanahkan pada negara dan dijalankan melalui program pemerintah. Baik buruknya dalam tata kelola jaminan sosial adalah tugas pemerintah dan jajarannya, bukan malah dibebankan pada masyarakat.

Walaupun masyarakat luas sudah merasakan manfaat program JKN namun bukan berarti adanya kekurangan anggaran atau jalan tidaknya program, dibebankan pada masyarakat dengan kenaikan iuran. Sebab selama ini masyarakat sudah membantu pemerintah dengan membayar pajak dan restribusi lainnya. Apakah itu masih dirasa kurang?

Jaminan Kesehatan Nasional bukan program balas budi atau arisan kesehatan, masih banyak yang bisa dilakukan untuk menjaga dan mendanainya.

Ipang Sugiasmoro – Koordinator Jamkeswatch Mojokerto Raya

Pos terkait