Cerpen : Secarik Undangan Dari Kampus Biru

 

Oleh : Muis

Namaku Dimas, aku adalah anak Ragil atau anak yang terlahir terakhir setelah tiga kakakku. Sejak Taman Kanak-kanak orang tua kami telah bercerai dan sejak saat itu pula aku kehilangan harapan untuk bisa mengambil Buku Raport bersama Ibu.

Saat itu meskipun aku masih kecil namun sudah menyadari betapa kepedihan telah tergores dan membekas,hidup sehari hari tanpa sosok ibu membuatku iri saat melihat teman teman lain bisa bermanja dan bercengkerama dengan ibunya.

Bapak terus menyemangati ku bahwa bersamanya dan ketiga kakakku , hidup akan baik baik saja , dengan gagah bapak juga bilang bahwa beliau juga bisa jadi sosok ibu,padahal aku tahu bahwa ada gurat kesedihan diwajahnya.

Pada waktu kelas lima SD, kami mendapatkan kabar bahwa Ibu yang telah meninggalkan rumah telah pergi meninggalkan dunia ini,meskipun jarang berada di sampingku ,kepergiannya semakin membuatku kalut dan larut dalam kesedihan,akupun merasa ada bagian dari diriku yang hilang.

Saat itu bukan saja tidak bisa mengambil Buku Raport tapi aku tidak akan pernah bisa melihat lagi wajah ibu , sendiri,aku harus menguatkan hati saat kangen dengannya.

Di suatu ketika ,waktu dirumah ,disaat hujan turun ,aku duduk dipangku bapak dan saat itu seperti seorang kiai beliau memberikan pesan padaku bahwa :

” Nak jangan tenggelam dalam kesedihan, semua mahkluk hidup pasti meninggal termasuk kita semua nak.

“Nak ada tiga perkara yang tidak bisa kita hindari di dunia ini Jodoh,Pati (meninggal) dan Rezeki, semuanya adalah Kehendak Allah ” Lanjut bapak memberikan kami Pemahaman.

Sepeninggal Ibu, Bapak semakin berusaha untuk memberikan kebahagiaan yang lebih untuk ku, Bapak bekerja tanpa kenal lelah hanya untuk membuat ku bahagia , bahkan bapak sampai lupa akan kesehatannya sendiri.Bahkan makan pun dia tunda agar anak-anaknya di sampai kelaparan.

Tak terasa sudah kenaikan kelas 6 MI bapak semakin menggila ketika mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya.

Bapak mulai terlihat sakit sakitan,namun justru rasa sakit menjadi penyemangatnya untuk semakin bekerja keras, Seakan rasa sakit diderita beliau bukanlah masalah besar baginya yang dia tau adalah jangan sampai anak anaknya tidak sampi kekurangan.

Dan kepedihan kembali mendatangi ku.
Bapak, Satu-satunya orang tua yang tersisa juga meninggal kan ku selamanya akibat sakit yang di deritanya.

Entah bagaimana aku melanjutkan hidup ?

Disini di bawah pohon trembesi,depan sekolah Madrasah Ibtidaiyah yang di cat penuh warna biru sehingga oleh warga sekitar disebut Kampus Biru ,aku duduk terdiam menyeka air mata yang tak terasa telah mengalir .

Secarik undangan Pengambilan Buku Raport kelulusan itu sebagian basah oleh air mata, ketika kulihat teman teman lain datang ke sekolah ditemani ibu atau bapaknya semakin membuat air mata ini deras meleleh di pipi kecilku.

Aku tak tahu harus bagaimana ?

Lalu sepasang tangan menyentuh pundak ku,menyeka air mataku …kakak ku yang masih muda yang berusaha bekerja untuk mengganti kan bapak memegang secarik undangan dari kampus biru itu, lalu menguatkanku dengan ucapannya , kulihat matanya yang berkaca kaca menahan tangis .

” Dek,sudah jangan bersedih kamu tidak sendiri, masih ada kakak kakakmu disini yang akan menggantikan bapak” .

Aku menatapnya tangis kami pun pecah.

Kami tak peduli saat teman teman dan orang tuanya melihat kami berdua menangis.

Kakak membimbingku berdiri,menggandengku , menguatkan ku ,berjalan menuju kampus biru kehidupan yang sebenarnya.